nakita.id.- Menggigiti kuku adalah aktivitas paling umum dari nervous habits, yaitu kebiasaan yang disebabkan oleh perasaan takut atau gelisah, di samping mengisap jempol, mengupil, memelintir atau menarik-narik rambut, dan menggeretakkan gigi. Umumnya jika tidak ditangani sejak awal kebiasaan ini akan terus berlanjut hingga si kecil beranjak dewasa. Lalu apakah penyebab nervous habits pada balita?
Bagi balita, tumbuh besar menumbuhkan rasa cemasnya, dan banyak tekanan serta ketegangan tersebut luput dari perhatian orangtua. Jika si balita suka menggigiti kuku dalam batas yang masih bisa diterima (tidak sampai menyakiti dirinya sendiri) dan melakukannya secara tidak sadar (contohnya saat tengah menonton televisi), atau jika ia cenderung menggigiti kukunya sebagai bentuk respons atas situasi tertentu (misalnya saat harus menghadapi perlombaan), itu hanyalah caranya untuk meredam rasa stres ringan. Kemungkinan besar, pada suatu waktu ia akan menghentikan kebiasaan itu sendiri.
Baca juga: Gigit Kuku Berisiko Ganggu Kecerdasan Anak
Meski begitu, terdapat sejumlah kasus di mana kebiasaan menggigiti kuku yang parah merupakan tanda adanya kecemasan berlebihan. Berkonsultasilah kepada dokter anak jika kebiasaan itu membuat ujung-ujung jarinya terluka atau berdarah. Selain itu, jika kebiasaan si kecil tersebut diikuti perilaku lain yang membuat orangtua khawatir (seperti mencubiti tubuhnya sendiri, menarik-narik bulu mata atau menjambaki rambutnya sendiri), atau jika ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, jangan ragu untuk segera menghubungi dokter.
Kondisi lain yang perlu ditangani dokter adalah apabila jika kebiasaan itu muncul secara tiba-tiba dan meningkat dengan cepat. Jika hal ini terjadi, orangtua mungkin juga perlu menghubungi psikolog untuk membantu memahami penyebab kecemasan si balita.
MENYETOP KEBIASAAN
Baca juga: Anak Senang Gigit Kuku? Atasi Dengan Cara Ini
Kebiasaan mengigit kuku perlu ditangani, sebab bila tidak, dapat berlanjut hingga dewasa. Selain tidak elok dipandang mata, kebiasaan ini juga bisa melukai kuku atau dapat membuat kuman masuk ke mulut. Lalu, adakah cara-cara menghentikan kebiasaan si balita suka menggigiti kuku? Berikut langkah-langkahnya.
• Cari tahu sumber kecemasannya
Menurut Janis Keyser, pendidik sekaligus penulis buku Becoming the Parent You Want to Be: A Sourcebook of Strategies for the First Five Years (Harmony Publishers, London, 2010), orangtua yang merasa khawatir tentu ingin mencoba menyetop kebiasaan menggigiti kuku tersebut, dan tidak ada salahnya untuk menjadikan hal itu sebagai target jangka panjang. Namun, sebelum melakukannya, hal yang lebih penting adalah mencari tahu akar penyebab perilaku tersebut sambil merenungkan apakah ada pemicu stres dalam hidup si balita yang harus dihilangkan.
Jika orangtua bisa menebak kira-kira apakah penyebab kecemasan si kecil—misalnya, pindah rumah, perceraian dalam keluarga, lingkungan baru, teman baru, atau pentas tari yang harus segera ia lakoni—orangtua sebaiknya meluangkan waktu dan mencari akal untuk membantunya membicarakan kecemasannya.
• Jangan memarahi atau menjatuhkan hukuman
Seperti nervous habits lainnya, menggigiti kuku cenderung dilakukan secara tidak sadar. Jika si balita bahkan tidak menyadari bahwa dia menggigiti kukunya sendiri, jadi buat apa kita mengomel dan menghukumnya. Kalau mau fair, orang dewasa pun butuh waktu lama serta usaha yang keras untuk bisa menghentikan kebiasaan yang ditimbulkan akibat nervous habits.
Lebih baik beri sejumlah batasan seperti, “Menggigiti kuku tidak saat berada di meja makan” sama masuk akalnya dengan peraturan lain seperti “Dilarang memberi makan kucing langsung dari piringmu.” Yang terpenting, orangtua harus berusaha tetap tenang dan tidak terbawa emosi.
Secara umum, selama balita tidak menyakiti dirinya sendiri dan tidak tampak berada dalam kondisi tertekan, cara terbaik yang bisa orangtua lakukan adalah menjaga kuku jarinya terpotong pendek dan rapi, mengingatkan ia untuk sering-sering mencuci tangannya, dan mencoba menaruh perhatiannya pada hal-hal lain. Jika terus menekan si kecil untuk berhenti, kita hanya akan menambah rasa stresnya dan malah berisiko menguatkan perilaku tersebut.
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR