Shaken baby syndrome (SBS) bila diterjemahkan adalah sindrom akibat bayi terguncang. Menurut Centre for Disease Control and Prevention (CDC), SBS adalah bentuk kekerasan fisik yang berat pada bayi, yang disebabkan guncangan keras/trauma yang dapat menyebabkan cedera pada otak.
Sementara istilah abusive head trauma (trauma kepala akibat kekerasan) dikeluarkan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) untuk mekanisme cedera yang lebih luas, yaitu selain guncangan, trauma dapat terjadi akibat benturan tumpul, misalnya benturan dengan dinding atau dengan kasur/matras tempat tidur. Beberapa bayi memperlihatkan tanda kekerasan lain seperti lebam dan patah tulang.
Kata dr. Rosary SpA dari RSIA Evasari, tidak semua aktivitas menimang/mengoyang-goyangkan bayi akan menimbulkan SBS. Menggoyangkan bayi saat duduk di pangkuan, umpama, atau melambungkan bayi ke udara, tergolong masih aman. Begitu juga, guncangan saat kita mengajak bayi naik sepeda atau pada kasus mobil yang mengerem mendadak saat melewati polisi tidur.
Pencetus munculnya SBS yang paling sering adalah ketika bayi menangis terus-menerus atau rewel. Orangtua/pengasuh yang mungkin kelelahan (karena kurang tidur, harus menyusui, mengganti popok sepanjang waktu, termasuk pada malam hari) akhirnya menjadi sosok yang tidak sabaran. Karena ingin cepat menghentikan tangisan bayi, mereka pun mengayun-ayunnya dengan keras. Ayunan itu pun (secara tidak disengaja) semakin lama, semakin keras sampai menggucang-guncang bayi hingga terjadilah SBS.
Baca juga: Kiat Menghadapi Bayi Yang Sering Rewel
Setiap bayi dapat berisiko mengalami SBS. Tapi menurut laporan AAP (American Academy of Pediatrics), risiko yang lebih besar dialami oleh bayi yang sering kolik, bayi dengan kebutuhan khusus, bayi yang memiliki banyak saudara, dan bayi yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi sulit. Tak dijelaskan dalam laporan itu mengapa bayi-bayi ini lebih berisiko. Namun diduga, bayi-bayi dengan kondisi di atas umumnya lebih mudah rewel sehingga menimbulkan ketidaksabaran orangtua/pengasuh yang dapat berujung pada kekerasan.
Pada laporan dicantumkan, pelaku kekerasan yang mengakibatkan SBS sebagian besar (70%) adalah kaum pria (ayah, ayah tiri, atau partner ibu), dan berusia masih muda. Tetapi siapa pun dapat berpotensi melakukan kekerasan kepada bayi atau anak-anak jika ia tidak mampu mengendalikan stres dengan baik, memiliki kontrol diri yang buruk, dan mempunyai kecenderungan untuk berperilaku kasar. Penggunaan alkohol dan obat-obatan juga berperan dalam terjadinya kekerasan pada anak.
Baca juga: Kalau Gendong Bayi Jangan Diayun Ini Risikonya
Bayi korban SBS terbesar berada di rentang usia 2—4 bulan. Diduga karena di usia ini, bayi menangis lebih lama dan lebih sering. Ditambah, struktur di dalam kepala dan leher, termasuk otot, tulang, pembuluh darah, saraf, dan otak masih lunak dan tipis sehingga lebih rentan terjadi kerusakan. Bayi juga lebih mudah diguncang dibanding anak-anak dengan usia atau ukuran tubuh yang lebih besar. Meskipun begitu, kasus SBS juga ditemui pada anak balita.(*)