Nakita.id - Dalam budaya kita, budaya berbagi tentu sudah tak asing di telinga. Sebagai orangtua, Anda mengajarkan anak-anak untuk selalu berbagi supaya bisa mendidiknya menjadi seseorang yang berjiwa dermawan dan membantu sesamanya yang kesulitan. Seorang ibu asal Singapura, Shumei Winstanley lelah dengan orangtua yang meminta anak-anaknya untuk berbagi hal dengan teman-teman sebaya. Berikut alasannya:
"Saya memiliki anak yang sangat impulsif ketika meminta sesuatu. Kadang-kadang saat mendapatkan jawaban ‘ya’, ia sangat bahagia. Tetapi, di lain waktu ia mendapatkan jawaban ‘tidak’. Saat itulah ia belajar tidak semua yang diinginkan bisa didapatkan serta menghormati pilihan orang lain juga. Ia mungkin akan kecewa tapi juga menjadi pelajaran berharga buatnya."
Baca juga : Kiat Ajarkan Berbagi Pada Anak
Kabar baiknya, ibu ini juga menyertakan alasan untuk memilih alternatif yang jauh lebih baik untuk berbagi:
- Memberikan sesuatu untuk orang lain terasa indah.
- Pandangan ”memberi” anak: Saya memiliki beberapa hak. Saya bisa berdiri sendiri dan orang dewasa akan mendukung saya.
- Anak belajar ”menunggu”: Saya bisa menunggu. Saya tahu giliran akan datang. Saya bisa dan harus belajar untuk mengendalikan keinginan. Ini mengajarkan anak keterampilan menunda kepuasan dan mengembangkan kontrol diri.
- Tumbuh kepercayaan antara orang dewasa dan anak: Saya percaya seseorang akan datang. Saya percata dan saya akan mendapatkannya ketika giliran saya.
- Orang dewasa percaya dan yakin dengan apa yang saya lakukan adalah penting. Saya penting. Saya percaya dengan orang-orang dewasa dalam hidup saya.
Baca juga : Solusi Dalam Mengatasi Anak Yang Tidak Mau Berbagi
Berbagi vs Alih Tutur, Mana yang Lebih Bekerja?
Konsep turn-taking atau alih tutur juga harus berlaku untuk anak-anak. Segala macam pikiran dan perasaan berjalan melalui pikiran anak-anak ketika Anda hanya memintanya untuk 'berbagi'. Pikiran seperti, “Tidakkah perasaan saya penting juga?”, “Apakah berbagi berarti menyerahkan hal-hal yang saya sukai?” Berikut adalah alasan mengapa orangtua harus memprioritaskan anak memahami alih tutur dibandingkan berbagi:
- Kemurahan hati yang nyata: Dalam pola asuh orangtua, anak merasa 'wajib' untuk berbagi, dan itu dilakukan demi menaati orangtuanya saja. Anak hampir tidak bisa bermain dengan mainannya, ketika ia harus memberikannya. Ini tentunya menimbulkan perasaan sedih, bukannya perasaan bahagia yang keluar dari menjadi baik dan murah hati kepada orang lain.
Tapi, ketika anak rela menyerahkan mainannya, itu adalah saat yang menggembirakan karena anak belajar berbagi dengan sendirinya. Shumei mengatakan, "Anak-anak akan sering bersikap licik dan berbagi hanya untuk menyenangkan orang dewasa, dan tidak akan berbagi ketika orang dewasa tidak melihatnya. Kemurahan hati yang nyata dapat membentuk kebiasaan. Kemurahan hati datang sebagian karena otak melepaskan neurotransmitter, memperkuat “sirkuit reward” dalam otak anak-anak."
Baca juga : 8 Cara Ajarkan Batita Berbagi
- Ketegasan positif: Dibandingkan harus campur tangan dalam perkelahian anak, ajarkan anak Anda untuk mengatakan, “Kamu dapat memilikinya ketika saya sudah selesai.” Ini akan memberikan anak Anda kekuatan untuk berdiri sendiri, dan untuk mengatur batas-batas . Ini mengajarkannya bagaimana mengatakan 'Tidak'.
- Kontrol keinginan: Anak yang sering menunggu mungkin akan mengalami frustrasi, kecewa, marah, dan sedih. Bahkan, bisa saja anak akan membuat ulah. Tidak apa-apa, Bu, karena dari waktu ke waktu anak akan belajar keterampilan hidup yang sangat berharga guna mengendalikan perilaku dan emosinya, terutama mengontrol keinginannya.
- Komunikasi dan keterampilan pemecahan masalah: Ajarkan anak untuk mengatakan, “Saya belum selesai. Giliran kamu tiba saat saya sudah selesai, oke?” Mengajar anak Anda untuk berkomunikasi dan mengatakan 'Tidak' secara efektif.
Ini mungkin terdengar baru untuk pola pikir orangtua, tapi mengajarkan anak untuk mengenali kebutuhan lain, menjadi tanpa pamrih di saat yang tepat, dan tidak ada yang memiliki hak secara paksa mengambil sesuatu dari orang lain tanpa persetujuan.
Sumber : https://sg.theasianparent.com/singapore-mum-kids-should-not-be-forced-to-share/