Ternyata Pengobatan ini Lebih Baik Daripada Cuci Darah

By Saeful Imam, Senin, 17 April 2017 | 08:15 WIB
CAPD terapi terbaik penderita gagal ginjal kronik (Saeful Imam)

Nakita.id - Fungsi ginjal sangat vital bagi tubuh. Organ berukuran sekepalan tangan orang dewasa ini dalam sehari-hari bertugas memfilter limbah hasil metabolisme tubuh yang normal terjadi. Asal tahu saja, setiap hari organ berbentuk mirip kacang ini menyaring sekitar 1000 cc darah atau 20 persen darah yang beredar di dalam tubuh. Jika fungsi ginjal terganggu atau rusak, dapat dibayangkan sampah hasil metabolisme itu akan menumpuk dan meracuni tubuh. Sayangnya, saat ginjal tak berfungsi alias ayah dan ibu menderita gagal ginjal kronik, terapi yang terbayang adalah hemodialisa atau cuci darah dengan bantuan mesin. Dua atau tiga kali setiap minggu, penderita harus berepot-repot datang ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah.

Padahal, kini ada cara lebih efektif dan efisien untuk penderita gagal ginjal kronis, yaitu CAPD alias Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis, ada yang menyebut terapi ini sebagai cuci darah lewat perut. Alat CAPD dipasang di bagian perut, lengkaap dengan kantong agar tetap terjaga kesterilannya. Alat ini disambungkan dengan alat lain yang akan mengalirkan cairan pencuci darah. Cairan inilah yang akan membuang racun di dalam tubuh. Prosesnya tidak lama sekitar 10 menit, 3-4 kali dalam sehari. Kabar baiknya, proses ini dapat dilakukan sendiri di mana saja. Bisa di rumah, kantor, bahkan di perjalanan. 

Berdasarkan penelitian, harapan hidup pasien yang menjalani terapi CAPD lebih baik daripada Hemodialisasi. Hal ini menurut  dr Atma Gunawan, SpPD, KGH,  Konsultan Ginjal Hipertensi dari Malang CAPD Center karena kualitas pasien yang menjalani CPAD jauh lebih baik. Tidak hanya itu. Kelebihan CAPD diungkap Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang melakukan studi perbandingan efektivitas harga antara metode cuci darah (HD) dan cuci darah lewat perut (CAPD). Ketua studi, Prof. Hasbullah Thabrany, menjelaskan studi dilakukan pada 3 rumah sakit di Jakarta dan Bandung melibatkan 120 pasien gagal ginjal stadium akhir.

Hasil penelitian menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk cuci darah per tahun mencapai hampir 11,5 juta per orang. Sedangkan jika menjalani cuci darah lewat perut, menghabiskan sedikit lebih banyak yaitu 130,7 juta. Namun kualitas hidup pasien yang menjalani cuci darah melalui perut jauh lebih baik. Karena tidak perlu datang ke rumah sakit dan bolos kerja, pasien yang menjalani cuci darah lewat perut dapat berhemat untuk ongkos transportasi.

Dalam studi terungkap, penghasilan pasien cuci darah yang hilang karena harus ke rumah sakit dua kali seminggu mencapai 9 juta. Transportasi yang dihabiskan mencapai 5,2 juta sedangkan peserta cuci darah lewat perut hanya 3 juta. Studi ini menyimpulkan, cuci darah lewat perut berpotensi menghemat dana JKN 48 juta lebih per orang per lima tahun.

Meski relatif lebih baik, masih sedikit penderita gagal ginjal kronis yang memanfaatkan CAPD. Menurut dr Atma Gunawan, hampir semua pasien penyakit ginjal kronis yang datang, 95 persen harus menjalani cuci darah memakai mesin hemodialisa. “Sebagian besar harus melakukannya 2 kali seminggu, bahkan 3 kali seminggu. Karena memulainya terlambat, maka angka harapan hidup selama 1 tahun rendah, hanya 50 persen,” kata Atma dalam acara yang digelar di Hotel Manhattan, Kuningan, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Di Malang CAPD Center, termasuk terbanyak menangani  pasien  CAPD yaitu 290 pasien atau 34 persen dari seluruh pasien pasien yang menjalani dialisis. Namun, menurut Atma pelaksanaan CAPD bukan tanpa kendala. Misalnya, sebagian besar peserta CAPD adalah memiliki kriteria yang memerlukan cairan dialisis khusus yang lebih mahal sehingga akhirnya banyak yang drop out. Infeksi rongga perut juga masih menjadi momok bagi pasien karena kurang menjaga kebersihan.

Apa pun metodenya, dr Atma menuturkan, baik CAPD maupun hemodialisa, keduanya adalah terapi antara sebelum penderita melakukan cangkok ginjal. "Sifatnya hanya sementara. Sayangnya, beberapa penderita menjadikannya sebagai terapi definitif yang terus menerus dilakukan. Kesulitan mencari pendonor juga biaya yang besar mungkin menjadi alasannya," ungkap dr Atma menutup percakapan.