nakita.id. Ayah-ibu yang punya batita, masih sedang asyik mengamati si kecilnya bereksplorasi setiap hari, termasuk mengeksplorasi suaranya. Paling sering terlihat, si kecil meninggikan suaranya. Pada periode ini, anak bisa merasakan bahwa dengan berteriak suara yang dihasilkannya akan berbeda. Sehingga ia mencoba dan mencoba lagi aneka jenis teriakan dan mendapat kepuasan mendengar hasilnya. Ia juga mulai mengenal lingkungan atau orang lain dan mulai dapat menyebutkan hal-hal di sekitarnya. Seru, bukan?
Tapi berteriak di usia batita juga bisa berarti tindakan mencontoh orang-orang di sekelilingnya. “Bisa juga anak meniru orang di sekitarnya yang berteriak kalau membutuhkan sesuatu, sehingga anak menggunakan pola yang sama dari lingkungannya,” jelas psikolog Dra. Woelan Handadari, MSi dari Unit Pelayanan Psikologi – Fakultas Psikologi – Universitas Airlangga, Surabaya seperti termuat di tabloid nakita 895.
Kemungkinan lain, si batita berteriak karena ia merasa tidak mendapat perhatian yang dibutuhkannya. Misalnya, ketika ia meminta sesuatu, orang dewasa di sekitarnya tetap sibuk dengan kegiatannya, termasuk jika orangtua sibuk dengan ponsel saat menemani buah hatinya. Woelan mengatakan, “Anak merasa keinginannya diabaikan maka anak mencoba menguatkan permintaan dengan berteriak karena merasa jengkel atau kesal.”
BERIKAN RESPONS POSITIF
Apapun alasan batita berteriak, Woelan menekankan agar orangtua atau orang dewasa di sekitarnya tidak merespons dengan teriakan yang sama bahkan lebih keras daripada anak. “Jika itu yang terjadi, anak akan semakin bereaksi, bahkan tidak hanya berteriak tapi akan muncul perilaku lain, misalnya membanting atau melempar mainan, atau bergulung-gulung di lantai, atau mungkin lebih hebat lagi,” urai Woelan.
Singkat kata, saat orangtua terkejut mendengar teriakan si kecil, jangan terpancing untuk melakukan hal yang sama. Justru, orangtua perlu mengajaknya menenangkan diri dan menurunkan suara. Woelan mengatakan, dalam menyikapi teriakan si kecil, sebaiknya orangtua mendekati dan meminta maaf karena sebelumnya sedang sibuk sehingga tidak mendengar permintaan anak. Kemudian, dengan kata-kata yang lembut, orangtua dapat menanyakan apa yang diinginkan anak.
Orangtua juga perlu introspeksi, jangan-jangan selama ini kebiasaan di lingkungan si kecil mengajarkannya untuk berteriak saat meminta sesuatu. Misalnya, ia belajar dari cara orang dewasa di sekitarnya menyuruh si Mbak di rumah, atau ketika kakaknya bermain dengan teman-temannya, atau anggota keluarga lain yang memang bersuara keras di rumah.
AJARKAN WAKTU YANG TEPAT UNTUK BERTERIAK
Para ahli sepakat bahwa anak yang doyan berteriak belum tentu adalah anak yang ekspresif. “Mengingat anak berteriak karena berbagai sebab, seperti ingin mendapat perhatian, karena melihat orangtuanya berbicara dengan orang lain atau asyik menonton televisi atau main hp, atau cemburu melihat kebersamaan mama papanya dengan adik atau kakaknya,” ujar Woelan. Anak yang ekspresif bukan ditunjukkan dengan teriakan, tapi respons yang diberikan atas semua perilaku yang didapat anak. Misalnya, tertawa ketika merasa senang atau menangis saat merasa sedih. Anak yang tidak ragu menampilkan emosinyalah yang disebut anak ekspresif.
Karena itu, orangtua perlu mengajarkan anak untuk menempatkan teriakannya ke dalam porsi yang tepat. Anak, misalnya, dapat berteriak ketika mencapai tujuan. Misalnya ketika mengikuti lomba lari dan berhasil menyelesaikan sampai garis finis, maka anak dapat berteriak mengungkapkan kegembiraan. Atau, anak dapat berteriak ketika terkejut. Misalnya saat sedang berjalan-jalan di kebun dan melihat seekor katak yang tiba-tiba melintas di hadapannya. Atau ketika bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak dijumpai.
Jika anak sering berteriak, bukan tidak mungkin orang dewasa di sekitarnya justru mengabaikan karena menganggap si anak memang “hobi” berteriak. Hal ini justru akan menyulitkan ketika si anak berteriak karena bahaya yang membutuhkan pertolongan dengan segera. Jadi, doronglah si kecil berteriak yang benar di saat yang tepat.
Mengajarkan berteriak di situasi tepat penting bagi si batita, sebab berteriak sesungguhnya bukan bentuk komunikasi sehari-hari. Sebab, berteriak membutuhkan tenaga yang lebih banyak dibandingkan dengan tidak berteriak. Biasanya yang diteriakan hanya beberapa kàta saja, bukan kalimat yang panjang. “Jadi, berteriak tidak sama dengan berbicara menggunakan kosa kata yang lengkap dengan melibatkan kemampuan berpikir anak,” terang Woelan. Berteriak bukanlah cara berkomunikasi yang baik karena anak perlu berbicara dengan runut untuk menjelaskan sesuatu yang terjadi atau yang sedang ia pikirkan. Karena orangtua yang paling tahu mengapa anak berteriak, maka orangtua pula yang perlu menggali penyebabnya untuk membantu anak menyelesaikan hal tersebut.
Misalnya, bila anak selalu berteriak saat minta tolong, orangtua perlu menjelaskan kepada anak cara meminta tolong yang benar. Pertama-tama, untuk meminta tolong anak perlu memerhatikan bahwa orang yang akan dimintai tolong tersebut jaraknya dekat dan dapat memerhatikan dirinya. Jika tidak, maka ia perlu mendekati orang tersebut untuk mendapatkan perhatiannya. Anak juga perlu paham, orang dewasa yang tidak memerhatikan mereka belum tentu tidak sayang kepada mereka, tetapi mungkin tengah mengerjakan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi. Karenanya, tentu anak boleh saja meminta bantuan orang, tetapi perlu mendapatkan perhatiannya terlebih dahulu. Antara lain dengan cara mendekati, bukan berteriak-teriak. (*)