Nakita.id - Maraknya kasus bullying yang terkuak beberapa pekan terakhir ini menjadi ‘pengingat’ untuk para orangtua untuk mulai membenahi pola asuh yang selama ini dirasa kurang. Sebagai contoh, kasus bullying yang dilakukan oleh sekelompok siswa-siswi kelas VII, beberapa berasal dari SMP Negeri 273 Jakarta, dan lainnya berbeda sekolah terhadap salah satu siswi. Kasus ini menjadi viral setelah salah satu akun gosip via Instagram mengunggah video tersebut.
Aksi bullying itu dilakukan di Thamrin City, pada Jumat (14/07) dengan tindakan kekerasan seperti menjambak dan memukul kepala korban. Belakangan diketahui bahwa kasus ini bermula dari salah satu pelaku dan korban saling meledek, sehingga muncul perdebatan dan rasa tidak suka. Selain itu, para pelaku juga merupakan ‘geng’ sejak SD.
(Baca juga : Penyebab Anak Jadi Korban Bully)
Melihat kejadian ini, tentu saja orangtua lainnya menjadi sangat ketakutan dan resah. Takut dan resah dalam arti tidak ada orangtua manapun yang menginginkan anaknya menjadi pelaku bullying, apalagi korbannya. Dan muncul pertanyaan besar, “Apa sih yang menyebabkan anak-anak sudah berani melakukan bullying?”
Anak yang menjadi pelaku bullying memiliki berbagai alasan, diantaranya:
- Orangtua yang kasar, terlalu ketat dan sering mengintimidasi dapat menyebabkan anak-anak bertindak di luar batas dan melanjutkan siklus dari apa yang telah mereka pelajari di rumah.
- Alasan umum bahwa anak tidak mendapat perhatian dari orangtua di rumah dan mengganggu orang lain untuk mendapat perhatian. Ini bisa termasuk anak-anak terlantar, anak-anak dari orangtua bercerai, atau anak-anak dengan orangtua yang menggunakan obat-obatan terlarang / alkohol.
- Saudara yang lebih tua juga bisa menjadi penyebab masalahnya. Jika mereka diintimidasi, mereka lebih cenderung menggertak seorang adik untuk merasa lebih aman atau memberdayakan diri mereka sendiri.
(Baca juga : Kenali Tanda Anak Mengalami Bullying)
Pola asuh disiplin dianggap sebagai akar dari semuanya. Bila anak-anak tidak disiplin, mereka akan bertindak di luar batas. Dan ketika disiplin tidak digunakan, anak-anak dapat mengembangkan perilaku untuk mengompensasi kedewasaan dan ketidakamanan mereka.
Orangtua harus mengerti bahwa mereka tidak bisa menjadi teman bagi anak-anaknya. Mereka harus menjadi orangtua dan menggunakan disiplin bila diperlukan. Menjadi model peran anak jauh lebih penting.
Banyak pelaku bullying ingin menjadi populer atau merasakan adanya hak. Penulis Robert Faris menemukan bahwa semakin banyak anak yang peduli akan popularitas, semakin agresif mereka. "Bukti menunjukkan bahwa agresi keseluruhan tidak meningkatkan status," katanya. Kemudian, anak ingin melihat keinginan mereka untuk berperilaku sesuai dengan keinginan mereka. Pelaku yang rata-rata dilakukan oleh anak biasanya disebabkan karena kekurangan empati dan tidak diajarkan untuk memikirkan dampak dari tindakan mereka kepada perasaan orang lain.
(Baca juga : Yang Harus Mama Lakukan Jika Anak Menjadi Korban Bullying)
Anak-anak menggunakan bullying terutama untuk mengganti keterampilan sosial yang seharusnya mereka kembangkan di sekolah dasar, sekolah menengah dan sekolah menengah atas. Seiring anak-anak melewati tahap perkembangan mereka, mereka harus menemukan cara mengatasi masalah dan bergaul dengan orang lain. Ini termasuk belajar bagaimana membaca situasi sosial, berteman, dan memahami lingkungan sosial mereka. Jadi pada dasarnya, mereka tidak harus belajar memecahkan masalah, karena mereka hanya akan mengancam anak-anak lain.
Beberapa anak mungkin mengintimidasi dan menggertak orang lain, beberapa melakukannya hanya karena mendambakan perhatian. Beberapa anak menderita perasaan rendah diri, memiliki ketidakmampuan belajar dan masalah kesehatan mental.