Nakita.id - Suka menggigit-gigit kuku umumnya dilakukan anak. Kebiasaan ini bisa berlanjut hingga dewasa. Efek sampingnya bisa lebih dari sekadar kosmetik. Pasalnya, menggigit kuku berulang bisa membuat kulit di sekitar kuku terasa sakit dan bisa merusak jaringan yang membuat kuku tumbuh, sehingga kuku terlihat abnormal. Bahkan, menggigit kuku bisa membuat kita rentan terhadap infeksi. Maka dari itu, kebiasaan ini harus dihentikan.
Nah, bagaimana cara menghentikan kebiasaan menggigit-gigit kuku? Sebenarnya mudah saja, kok. Ikuti saja tujuh cara berikut ini.
1. Potong kuku secara rutin. Kuku pendek membuat keisengan menggigit-gigit kuku terhambat.
2. Oleskan cat kuku yang pahit ke kuku. Tapi jangan terapkan cara ini ke anak, ya. Bagaimanapun, cat kuku adalah bahan kimia yang tidak boleh masuk ke dalam tubuh.
Baca juga: Gigit Kuku Berisiko Ganggu Kecerdasan Anak
3. Rutin manikur. Dengan cara ini dipastikan bisa membuat kita cenderung tidak mau menggigit kuku. Kenapa? Karena kita enggak mungkin tega menyia-nyiakan uang yang telah dikeluarkan untuk membayar terapi manikur sirna hanya karena kesukaan kita menggigit-gigit kuku.
4. Rutin memainkan bola terapi yang selalu ada di tangan bisa memperkecil kemungkinan kita untuk menggigit-gigit kuku.
5. Hilangkan pemicu. Menggigit-gigit kuku bisa juga karena adanya pemicu, seperti adanya hangnails atau pemicu lainnya, semisal, bosan, stres, atau kegelisahan. Dengan deketahui penyebabnya, kita bisa mengetahui cara menghindari situasi tersebut, sehingga menggigit-gigit kuku pun tidak terjadi.
6. Mencoba menyadarkan diri sendiri untuk tidak menggigit-gigit kuku secara bertahap. Misal, mencoba tidak menggigit kuku ibu jari, lalu telunjuk, dan seterusnya hingga kita bisa menghilangkan kebiasaan tersebut secara total.
7. Konsultasi dengan dokter atau psikolog. Perlu diketahui, bagi beberapa orang, menggigit kuku mungkin merupakan pertanda adanya masalah psikologis atau emosional yang lebih serius. Jika berulang kali mencoba berhenti menggigit-gigit kuku tapi selalu tidak sukses, berkonsultasilah dengan dokter atau psikolog.