Nakita.id - Berdasarkan riset, kebanyakan bayi lahir saat usia kandungan ibu antara 37 hingga 41 minggu. Dari total kelahiran di dunia, jumlah bayi yang lahir sesuai dengan hari perkiraan lahir (HPL) ternyata hanya sekitar 5%. Separuh dari jumlah itu lahir saat usia kandungan Ibu memasuki bulan ke-10 atau lebih dari 40 minggu.
Kehamilan telat bulan ini sebaiknya tidak dibiarkan. Berdasarkan teori, kehamilan yang usianya lebih dari 42 minggu (lewat waktu) memiliki risiko komplikasi persalinan yang tinggi. Sebab, plasentanya sudah tua, fungsinya pun menurun, sehingga tidak bagus lagi untuk mentransfer makanan. Akibatnya, bayi bisa kekurangan pasokan nutrisi (dan juga oksigen) sehingga berat badannya menyusut, gerakannya berkurang, kesejahteraan bayi pun berkurang.
Risiko terburuk dari kondisi bayi lahir lewat waktu adalah, setelah lahir bayi akan mengalami masalah gizi, sehingga perlu dilakukan pemantauan secara berkala. Risiko lainnya adalah air ketuban keburu habis atau bisa juga cairan ketuban menjadi hijau sehingga berbahaya bagi janin, karena bisa menimbulkan keracunan. Inilah yang bisa meningkatkan risiko bayi meninggal di dalam kandungan.
Tak hanya itu, kemungkinan bayi yang lahir lewat waktu juga meningkatkan kemungkinan menelan dan menghirup mekonium (tinja pertama), yang dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi paru-parunya dan mengalami gejala kesulitan bernapas setelah lahir. Dampak lainnya, bila bayi lahir lebih dari 42 minggu, maka lapisan lemak yang melindungi kulitnya akan hilang, sehingga kulit bayi jadi mengering, pecah-pecah dan mengerut, serta mengelupas.
Selain risiko pada bayi, Ibu juga akan mengalami risiko terinfeksi parah saat melahirkan, terutama bila ketubannya menjadi hijau.
Induksi persalinan Mengingat risikonya yang tidak ringan, maka ketika usia kehamilan sudah mencapai 41-42 minggu, tapi belum ada tanda-tanda melahirkan atau tak juga teradi persalinan spontan, umumnya dokter akan "memaksa" Ibu untuk segera melahirkan. Untuk itu, akan dilakukan induksi persalinan, yakni upaya menstimulasi terjadinya proses persalinan. Cara ini merupakan upaya medis untuk memulai proses kelahiran bayi secara normal.
Induksi dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan khusus pada ibu hamil melalui oral, infus, atau dimasukkan ke vagina. Obat-obatan ini bertujuan mengeluarkan hormon prostaglandin yang turut menyebabkan otot rahim berkontraksi. Akan tetapi, induksi tidak boleh sembarangan, harus dinilai berdasarkan kondisi ibu dan bayi, serta dilihat apakah mulut rahim sudah matang dan pas untuk diinduksi. Biasanya dokter mengacu pada Bishop score untuk menilai kematangan mulut rahim. Penilaian tersebut penting untuk menghindari kegagalan induksi yang berakibat pada persalinan caesar.
Jika mulut rahim belum matang, bisa dilakukan pematangan dengan pemberian obat atau dengan menggunakan metode mekanis, yakni memasang kateter foley di leher rahim. Bila serviks sudah matang, induksi dilakukan dengan pemberian obat (oksitosin) melalui cairan infus. Bila sudah dua kali infus tidak ada kemajuan, biasanya dokter akan melakukan bedah caesar.
Narasumber: Dr. Intan Nabila Al Mansyuri, Poli AMS, RSIA Kemang Medical Care, Jl. Kemang Timur Raya No. 23, Jakarta Dr. Merry, SpOG, Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan
(Ika Thohir)