Anak Tak Serumah

By Ipoel , Senin, 5 November 2012 | 18:00 WIB

Bu Mayke, anak pertama saya, laki-laki berumur 3,5 tahun. Saya dan suami bekerja. Sejak anak umur 2,5 bulan sampai sekarang, saya menitipkannya ke Tante (karena dari awal dia sendiri yang minta). Saya, suami dan keluarga setuju saja karena kami pikir masih keluarga dan rumahnya pun dekat dengan rumah ibu saya serta kontrakan kami.

Bu, rencana kami ingin segera memiliki rumah sendiri sangat kuat, namun keadaan finansial kami belum mendukung. Akhirnya kami memutuskan menerima tawaran kakak laki-laki suami saya untuk menempati salah satu rumahnya yang tidak ditinggali, namun lokasinya sangat jauh dari rumah Ibu dan Tante saya. Dia berharap supaya uang yang biasanya saya sisipkan untuk biaya sewa rumah, bisa ditabung agar keinginan kami bisa tercapai.

Akhirnya, kami putuskan mulai 7 November 2008 kami pindah. Permasalahan dan kebingungan yang saya dan suami alami sekarang adalah kami harus pisah beberapa hari dan malam dengan anak. Sampai detik ini kami belum mendapatkan orang untuk menjaga anak. Kami masih merasa takut bila anak harus dijaga oleh orang yang belum kami kenal.  Terpaksa sampai sekarang anak kami titipkan di rumah Tante. Tiap Senin pagi suami mengantarkan anak dan Jumat sore baru kami ambil untuk dibawa pulang.

Jujur ya Bu, dari awal saya sangat keberatan dengan keadaan ini. Hampir tiap hari dan malam sebelum tidur saya terus pantau keadaan anak saya. Yang awalnya suami mendukung saya kalau keadaan ini hanya sementara, belakangan suami baru merasa kalau dirinya pun tidak bisa juga menerima keadaan ini. Kadang suami cerita kalau dia lagi kangen dan kalau ada kesempatan di antara waktu kerjanya dia langsung pergi ke rumah Tante untuk menengok anak. Kalau saya justru harus menunggu sampai Jumat, Bu. Akhirnya, supaya saya tidak terlalu sedih, suami ambil keputusan kalau tiap Rabu kami menginap di rumah Ibu, jadi kami bisa tidur bersama.

Belum lama ini saya merasakan anak mulai memahami apa yang menjadi permasalahan kami, Bu. Pernah kami berdua harus gantian ambil cuti karena anak tidak mau kami tinggalkan untuk bekerja. Seminggu full anak ada di rumah. Pada saat di rumah, kalau saya yang lagi bekerja, dia selalu bertanya pada ayahnya kapan saya pulang, begitu sebaliknya bila suami yang giliran bekerja.

Karena takut keadaan ini berlangsung lama, padahal saya belum mendapatkan orang yang bisa menjaga anak, orangtua juga Tante selalu bilang bahwa ketika menitipkan anak, kami diminta jangan sering-sering telepon ke anak ataupun menginap setiap Rabu. Ibu, pertanyaan saya adalah: 1. Dengan keadaan seperti ini, bagaimana perkembangan dirinya? Banyak yang bilang anak akan punyai pribadi ganda, betulkah ? 2. Apakah anak akan memililiki rasa benci/marah kepada kami, karena sebagai orangtua. kami sepertinya meninggalkan dirinya, padahal usia seperti dia masih butuh orangtua yang selalu mendampingi. 3. Tetangga di rumah Tante banyak yang bilang anak saya pintar sekali, tidak rewel, bahkan kalau ditanya mama-ayahnya ke mana, dia bisa jawab lagi kerja dan kalau ditanya kapan pulang ke rumah, dia jawab “hari Jumat.“ Bu, apa ini berarti anak seusia dia sudah mengerti/memahami keadaan kami ? Demikian pertanyaan saya. Terima kasih untuk jawaban serta waktunya membaca permasalahan kami.Yuni - Jakarta     

Jawab:

Tak bisa disalahkan kalau Yuni dan suami merasa kangen ingin ketemu anak, namun yang harus dihindari adalah munculnya rasa bersalah sebab harus menitipkan anak di rumah saudara. Menghadapi situasi seperti ini, Yuni dan suami harus memutuskan, apakah: 1) akan menabung dan tinggal di tempat yang jauh lokasinya; atau 2) mengontrak rumah yang ada di dekat saudara. Kalau keputusan pertama yang diambil, maka Yuni dan suami harus menguatkan diri bertemu dengan anak cukup tiga hari dalam seminggu (Jumat-Minggu). Sekaligus melakukan perhitungan, berapa lama bisa membeli rumah sendiri berdasarkan kalkulasi penghasilan dan di mana lokasi rumah yang akan dibeli? Adakah pekerjaan sampingan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan tambahan penghasilan sehingga bisa membeli rumah lebih cepat?

Kalau secara teratur Yuni dan suami menjemput anak setiap hari Jumat dan mengembalikannya hari Senin pagi, maka dia akan terbiasa dan tahu bahwa hari Jumat dia akan bertemu dengan kedua orangtuanya. Karena itu ketika ada tetangga yang menanyakan kapan pulang ke rumah, dia bisa menjawab, “Hari Jumat.”

Sesekali menelepon untuk menanyakan keadaan dia atau ingin mendengar suaranya, boleh-boleh saja, asalkan tidak diisi dengan percakapan yang membuat anak gamang, misalnya menyatakan, “Kangen pengin ketemu Mas, tapi tidak bisa.” Selain itu, kalau orangtua mendatangi anak pada waktu yang tidak teratur, justru akan membuat anak ini berada dalam situasi ketidakpastian, sebab dia akan bertanya-tanya, kapan bisa bertemu dengan orangtuanya.

Apabila keputusan kedua yang akan diambil, konsekuensinya uang terpakai untuk mengontrak rumah, niat mempunyai rumah sendiri tertunda, walaupun kadang kala hal ini bergantung pada rejeki yang diperoleh. Sisi positifnya, Yuni bisa bertemu setiap hari dengan si kecil sehingga hati lebih tenang, si kecil pun merasa senang sebab selalu berada di dekat orangtuanya.

Walau bagaimanapun juga, yang terbaik adalah anak diasuh dan tinggal bersama orangtuanya dalam rangka membina kelekatan anak-orangtua. Kecuali kalau keadaan sangat memaksa sehingga anak harus tinggal terpisah dari orangtua, maka keputusan ini bisa diambil.

Maaf Yuni, saya hanya bisa memberikan saran-saran, namun keputusan ada di tangan Yuni dan suami. Jadi, bicarakanlah lagi hal menitipkan anak di rumah saudara bersama suami, lalu menimbang-nimbang lagi mana yang lebih banyak, sisi positif atau negatif kalau menitipkan anak di rumah saudara. Sekian dulu, saya berharap Yuni dan suami bisa mengambil keputusan yang tepat untuk anak.