Tabloid-Nakita.com - Di samping kemampuan bahasa yang meningkat, ada hal-hal lain yang menjadi pendorong si prasekolah jadi gemar mengadu. Faktor-faktor itu antara lain;-Kebiasaan di keluarga Ada orangtua yang memang membiasakan anak untuk bercerita apapun kejadian baik yang dialaminya di rumah maupun di sekolah. Cirinya, orangtua sering bertanya untuk memancing pembicaraan anak seperti, “Bagaimana sewaktu tadi di rumah ketika ibu bekerja?” atau “Bagaimana di sekolah tadi, apakah ada yang nakal?” Adanya pola tanya jawab seperti ini membuat anak terbiasa untuk melaporkan peristiwa atau kejadian yang dialaminya, baik di rumah ataupun di sekolah, baik hal yang menyenangkan maupun yang tidak tanpa ditanya. -Penerimaan diri Menurut pakar psikolog Kohlberg, di usia prasekolah umumnya orangtua sudah mulai menanamkan apa yang baik dan buruk pada anaknya. Konsekuensinya, anak berusaha membentuk citra dirinya terkait dengan apa yang boleh dan tidak boleh menurut kebiasaan lingkungannya itu. Jadi, ketika anak mengadukan hal-hal negatif yang dilakukan orang lain pada dirinya atau membandingkan hal negatif orang lain dengan hal positif dirinya, maka anak tidak dapat dicap sebagai si prasekolah gemar mengadu, namun berharap mendapatkan pembelaan/pujian/penerimaan positif dari orangtua/orang lain di lingkungannya. Dengan kata lain, anak berusaha mengonfirmasikan nilai-nilai atau aturan yang sudah dipunyainya dari lingkungan. -Cari perhatian Bila si anak prasekolah gemar mengadu, cirinya kerap berkata kepada orangtua atau gurunya. Misal, “Bu, Simon, enggak mau duduk nih” atau “Bu, pensil gambarku diambil Ari”, hal ini merupakan salah satu cara anak untuk mendapatkan perhatian dari orangtua atau gurunya. Karena dengan mengadu, orangtua maupun guru akan menanggapi/merespons/memerhatikan pengaduannya tersebut, dengan mungkin menegur teman si anak, misalnya.-Memanipulasi keadaan Bisa juga si tukang mengadu anak mengadu suatu hal negatif yang dilakukan oleh kakaknya/temannya. Padahal mungkin apa yang dilaporkan si anak tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Misal, kakak dilaporkan mengambil krayon miliknya, padahal menurut si kakak dia sudah mengatakan hanya ingin meminjam. Si kecil melakukan ini dengan berharap orangtuanya akan memberi konsekuensi negatif pada kakaknya dan dirinya mendapatkan perhatian yang positif. Pengaduan seperti ini hendaknya dicermati pula oleh orangtua dan perlu disikapi dengan bijak agar sikap manipulatif ini tidak berlanjut.-Ingin dibantu Sering mengadu dapat pula terjadi bila si prasekolah belum dibekali kemampuan mengatasi masalah dan berharap orang lain dapat menyelesaikan masalahnya. Contohnya mengadukan kakaknya yang tidak mau memberi pinjam mainan, “Bunda, Mas enggak mau kasih pinjam mainannya tuh.” Si prasekolah berharap ibunya akan turun tangan, paling tidak menegur kakak agar mau meminjamkan mainannya.-Meniru Anak prasekolah gemar mengadu karena adanya proses peniruan dari yang dia lihat maupun dengar dari lingkungan sekitarnya. Misalnya, ibu sering mengadu pada tetangganya soal pembantu, misalnya. Atau, anak melihat bagaimana temannya yang sering mengadu direspons oleh gurunya. Karena anak sering melihat, tak heran ia pun jadi ikut-ikutan mengadu. Beberapa faktor pendorong di atas ada yang masih dianggap wajar. Yaitu saat si prasekolah melaporkan sesuatu atau menceritakan adanya suatu kejadian atau mengonfirmasi suatu nilai yang anak lihat berbeda dengan yang dimilikinya. Akan menjadi berlebihan sifatnya bila anak sebentar-sebentar mengadu untuk diselesaikan permasalahannya pada orang lain. Juga bila ternyata anak mengadu dengan cara memanipulasi cerita. Bila sudah berlebihan tentu akan menjadi tak bagus buat anak itu sendiri. Anak bisa dianggap sebagai “anak pengadu,” oleh lingkungannya seperti oleh kakak/adik di rumah atau oleh temannya di sekolah. Perilakunya dianggap tak menyenangkan, bahkan merugikan orang lain. Akibatnya, si prasekolah bisa dijauhi saudara atau teman-temannya.
Dampak negatif lainnya, karena anak prasekolah suka mengadu untuk diselesaikan masalahnya, si anak akan berkembang jadi pribadi yang kurang mandiri, kurang percaya diri, tidak tahan banting. Dalam jangka panjang, konsep dirinya rendah. Di sisi lain, anak juga bisa berkembang menjadi pribadi yang tidak punya empati dan “tega” pada orang lain, terutama bila orangtua/guru termasuk orang yang mudah percaya pada pengaduan si anak.
Menyikapi aduan yang bersifat negatif, orangtua perlu melatih keterampilan sosial dan kemandirian anak sehingga tidak menjadi kebiasaan yang berlanjut. Salah satunya dengan tidak menyikapi anak dengan berlebihan atau menganggap luar biasa. Bisa juga dengan memilah, mana pengaduan anak yang harus ditanggapi serius dan mana yang tidak. Di sini orangtua perlu menyaringnya. Kalau salah kekerasan fisik yang dialami anak, misalnya tentu saja harus ditanggapi orangtua dengan serius dan segera Sebaliknya, bila di rumah anak sering sekali mengadukan mengenai teman-temannya di sekolah, maka orangtua perlu mencari tahu mengenai kebenaran pengaduan si anak. Di sini perlunya komunikasi antara orangtua dengan guru di sekolah, sehingga orangtua bisa mengetahui duduk permasalahannya dan dapat melakukan penanganan dengan tepat.