Belajar Memaafkan dari Momen Lebaran

By Dini, Jumat, 1 Juli 2016 | 03:15 WIB
Belajar Memaafkan dari Momen Lebaran (Dini)

Tabloid-Nakita.com - Jika selama ini kita bukan orang yang mudah memaafkan, maka jadikan Lebaran kali ini sebagai momen untuk berubah. Memang, tentu tidak semudah mengatakannya. Namun, hasil penelitian para pakar dari University of California, San Diego, terhadap 200 relawan mungkin bisa lebih memotivatsi kita.

Di dalam penelitian itu, para relawan diminta mengingat-ingat sikap teman yang dianggap menyinggung perasaan. Separuh dari mereka lalu diminta untuk merasakan kembali kemarahan yang timbul, dan separuh sisanya sebaliknya diminta untuk tidak lagi kesal dan cenderung memaafkan.

Hasilnya, mereka yang bisa mengatasi rasa marah dan bersedia memaafkan menunjukkan tekanan darah yang lebih stabil. Seperti yang kita tahu, tekanan darah yang bergejolak dapat membawa risiko bagi serangan jantung ataupun stroke.

Bagaimana cara belajar memaafkan?

Guru besar bidang psikiatri dari Boston, Amerika Serikat, Elvin V. Semrad (1909-1976), pernah menulis cara mengatasi perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh apa pun juga. Menurutnya, untuk itu kita perlu melakukan tiga langkah berikut:

• Pertama, kenali perasaan kita, apakah kesal, marah, sedih, malu, dan sebagainya.• Kedua, biarkan perasaan itu terjadi. Kita boleh marah, menangis, bahkan mengamuk.• Ketiga, saat emosi sudah mereda, tinjau kembali perasaan-perasaan yang muncul dan pikir lagi apakah baik jika dibiarkan berlarut-larut?

Dengan berpikir jernih, kita akan lebih mudah memberi ataupun meminta maaf. Saat kita tidak sepaham dan mulai terlibat dalam pertengkaran, cobalah melihat pokok permasalahannya dari sudut pandang orang lain. Jangan biarkan ketidaksepahaman itu menguasai kita, dan jangan pernah merasa paling benar sendiri.

Seringkali, pertengkaran memanas gara-gara masing-masing pihak merasa dirinya benar. Padahal kalau kita bersedia mendengarkan,memandang permasalahan dari sudut pandang orang lain, berkata terus terang, dan jika salah mau mengaku, maka  ketidaksepahaman apa pun dapat dicarikan jalan keluarnya tanpa harus bertengkar. Asal tahu saja, pertengkaran sengit selalu melibatkan dua belah pihak yang merasa “benar”.Dengan seseorang yang seharusnya dekat, apakah dia pasangan, orangtua, anak, atau salah satu anggota keluarga, kereganganbisa saja terjadi tanpa pernah mendapat penyelesaian. Padahal, keregangan yang terjadi di antara orang-orang yang seharusnya saling menyayangi akan menjadi siksa batin yang tak kunjung padam. Apa masalahnya? Prasangka dan gengsi.

Ya, kita sering kali termakan oleh prasangka buruk terhadap orang-orang terdekat dan merasa gengsi untuk mengajaknya bicara lebih dulu. “Mengapa bukan dia yang mengajak bicara lebih dulu?” begitu pikir kita. Lalu, kita pura-pura tidak peduli dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal, dengan begitu ada yang hilang dari batin kita: kehangatan dan kedekatan. Tekanan pun muncul, karena sebetulnya kita tidak bisa lari dari rasa kehilangan ini.

Jangan sia-siakan momen Lebaran ini untuk mengupayakan kembali komunikasi dengan orang-orang yang kita pedulikan. Upaya ini akan menyembuhkan kepahitan hati meskipun kita menghadapi risiko penolakan. Kalaupun itu terjadi, sebuah upaya rekonsiliasi jauh lebih berharga daripada prasangka yang dipelihara. Percayalah, salah satu yang membentuk kebahagiaan kita adalah perasaan terhubung dengan orang-orang yang kita pedulikan.

Jadi, mari belajar memaafkan!

(Heni Wiradimaja)