Tabloid-Nakita.com - Penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri belum lama ini mengungkap kasus vaksin palsu di tiga wilayah, yaitu Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Vaksin palsu itu diketahui sudah mulai beredar sejak 2003 silam.
Barang bukti yang diamankan penyidik dalam penggeledahan di rumah pasangan pembuat vaksin palsu di perumahan Kemang Pratama Regency, Bekasi Timur, Kota Bekasi, beberapa waktu lalu adalah 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin anti-snake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.
Wajar bila Mama saat ini merasa khawatir dengan kesehatan si kecil. Apa sebenarnya kandungan dari vaksin palsu tersebut? Apa efek vaksin palsu pada anak?
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan, mengatakan bahwa vaksin palsu yang sempat beredar di masyarakat berbahan dasar campuran cairan infus dan gentacimin (obat antibiotik). Keduanya merupakan obat yang sudah biasa diterima oleh tubuh manusia, sehingga menurutnya tidak berdampak serius terhadap penerimanya.
"Iya memang, cairan infus itu kan sudah biasa dipakai oleh tubuh, antibiotik itu juga biasa dipakai oleh tubuh, ya reaksinya sih sangat minimal," ujar Aman di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/6/2016) lalu.
Meskipun tidak berdampak serius, kata dia, bukan berarti tidak ada reaksi terhadap penerimanya. Menurut dia, reaksi tetap ada terhadap penerima vaksin jika penerima memiliki alergi. Reaksi itu dapat terlihat. Namun, ia kembali menegaskan, reaksi tersebut tidak akan berdampak secara serius.
"Kecuali dia (penerima) alergi, paling ya cuma bisa bengkak di tempat suntikan, bisa alergi, bisa gatal," tutur Aman.
Menurut Aman, dampak paling buruk vaksin palsu pada penerima adalah adanya infeksi. Namun, infeksi yang diterima korban tidak berlangsung lama.
"Bisa infeksi kalau nggak steril. Tapi infeksi itu akan terjadi biasanya tidak lama. Maksudnya dalam beberapa waktu setelah itu akan terjadi infeksi, tentunya reaksinya itu nggak sampai lama bisa 2 hari sampai 1 minggu setelah vaksinasi itu," tuturnya.
Menurut Aman, meskipun vaksin palsu itu sudah digunakan kepada anak-anak, tetapi hingga saat ini belum ada laporan yang menyebabkan anak-anak pengguna vaksin tersebut mengalami reaksi serius.
"Jadi, boleh dikata kalau yang menerima itu ada reaksi lokal, itu pasti sudah banyak sekali keluhan. Namun, sampai saat ini terus terang kita tidak menerima kejadian ikutan pascaimunisasi, yang disebabkan oleh vaksinasi," kata Aman.
Nah, coba ingat-ingat, apakah si kecil pernah mengalami keluhan seperti dimaksud dokter? Bila tidak, kemungkinan besar tidak ada dampak vaksin palsu yang terjadi, karena anak memang telah mendapatkan vaksin yang asli.
(Kompas.com/Fachri Fachrudin)