Memilih Pengasuh Batita

By Santi Hartono, Senin, 2 Mei 2016 | 00:00 WIB
Memilih Pengasuh Batita (Santi Hartono)

Sangatlah alami jika seorang batita yang sudah nyaman dengan ibunya, lalu menunjukkan sikap penolakan kepada pengasuh yang akan lebih banyak menemaninya. Relasi yang dialaminya selama ini hanya dengan Mama, Papa, lalu datang pengasuh. Tentu saja adaptasi dalam kenyamanan berelasi cenderung butuh waktu dan usaha ekstra. Bahkan, ada pengasuh yang harus sabar menunggu hingga sebulan untuk akhirnya bisa diterima oleh sang anak. Kesimpulannya, keputusan menggunakan pengasuh memang menimbulkan “cost” tersendiri. Oleh sebab itulah, kita perlu ekstra teliti saat mempertimbangkan untuk memperkerjakan pengasuh agar tepat untuk si batita dan agar menghindari tidak sampai berganti-ganti. PERHATIKAN PRINSIP PENGASUHANLalu, apa pertimbangannya untuk menentukan apakah seorang calon pengasuh cukup tepat untuk anak batita kita atau tidak? Untuk menjawab hal ini, kita perlu kembali kepada prinsip pengasuhan yang terbaik yaitu memberikan pengasuhan yang sesuai dengan kekhasan dari jenjang usia tersebut. Usia batita juga disebut sebagai masa emas pertumbuhan otak. Maka asupan gizi dan stimulasi yang tepat sangat berpengaruh terhadap optimalisasi pertumbuhan anak di jenjang usia berikutnya.  Jika Mama Papa memutuskan memilih pengasuh untuk batita, Julia Napitupulu, Psi, Family & Training Consultant dari Radani EI Centre, Jakarta menyarankan, inilah hal-hal yang perlu ditanamkan Mama Papa kepada pengasuh:• Pastikan si kecil memeroleh asupan gizi terbaik di jam-jam makannya. Pasalnya, ini akan berpengaruh terhadap perkembangan otak yang sedang pesat-pesatnya. Petunjuk mengenai makanan bergizi yang tepat dapat dengan mudah kita temukan dari berbagai sumber. • Anak batita belajar mengembangkan rasa percaya kepada dunia. Rasa percaya itu tumbuh melalui relasi yang hangat, yaitu melalui sentuhan, belaian, serta kehadiran yang konsisten dari orangtua/pengasuh. Apakah si pengasuh seseorang yang berkepribadian hangat? Kita bisa menilai saat ia berinteraksi dengan anak. Apakah ia sering tersenyum dan bisa membuat anak kita tertawa; apakah ia membacakan cerita sambil membelai kepala si kecil; apakah ia melakukan kontak mata yang intensif saat ngobrol dengan anak; apakah ia sering memeluk, terutama saat anak kita sakit. Penelitian membuktikan, berpelukan dengan orang terdekat minimal 12x dalam sehari akan memperkuat daya tahan tubuh. Pelukan akan memberikan perlindungan yang luar biasa dan memenuhi kebutuhan anak batita akan rasa aman. • Si batita belajar untuk merasa aman dan percaya diri saat mengeksplorasi lingkungan. Ia mulai belajar merangkak, berjalan, berlari, dan sebagainya. Karena masih pada tahap belajar, sangat wajar jika ia berulang kali jatuh. Rasa aman dan percaya diri anak tumbuh dari respons positif orang sekitar saat ia mengalami kegagalan, misalnya jatuh saat berlari. Reaksi pengasuh yang mengkritik, misalnya: “Tuh kan nggak hati-hati sih, jatuh deh kamu,” bisa menghambat kepercayaan diri anak. Atau mungkin kita pernah menyaksikan pengasuh yang sibuk “menyalahkan” lantai ketika anak jatuh. Sikap ini juga tidak baik karena menggiring pemahaman yang salah bagi anak dan bisa membentuk habit menyalahkan pihak luar. • Sikap yang juga tidak efektif yaitu overprotektif dengan melarang ini-itu. Sikap ini akan menghambat inisitiatif dan rasa ingin tahu anak untuk bereksplorasi. Sikap yang positif adalah mendukung dan empati. Lebih baik katakan: “Nak, kamu jatuh ya? Sakit nggak? (sambil anak dipeluk) Baik, kita coba lagi ya.. kamu pasti bisa.” Dengan demikian, akan tumbuh kepercayaan diri anak untuk terus mencoba hingga akhirnya menguasai dengan baik. Anak akan mengerti bahwa tidak apa-apa untuk jatuh berkali-kali karena ada yang mendukung untuk mencoba kembali. • Si batita mulai ingin melakukan sesuatu sendiri. Ia senang memindahkan barang-barang di sekitarnya, ikut sibuk bersama Papa mengatur sepatu, ikut sibuk bersama Mama  “bekerja” di dapur. Tentu saja kita tidak dapat mengharapkan kerapian dari aktivitas ini, malah yang sebaliknya. Rumah biasanya akan lebih berantakan dan kotor.  Pengasuh perlu memberikan ruang kepada anak untuk aktivitas “beres-beresnya” ini. Anak memerlukan kebebasan dan persetujuan.  Si batita belum cukup memahami benda-benda yang berbahaya sehingga pengasuh perlu diarahkan untuk  menata ruangan agar lebih aman. Jauhkan barang-barang pecah belah dan benda-benda tajam. Yang terpenting adalah sikap mendukung agar anak bisa bebas menikmati aktivitasnya.• Si batita mulai belajar berkomunikasi. Tidak hanya melalui bahasa verbal, namun ia juga peka terhadap intonasi dan ekspresi wajah. Kemampuan berkomunikasi anak bisa kurang berkembang jika pengasuhnya lebih suka mendudukkannya di depan teve berjam-jam. Sebab, untuk belajar berkomunikasi, tidak ada metode yang lebih efektif dibandingkan berkomunikasi langsung, dengan bertatapan mata, senyum, dan dialog dua arah meski dengan kosakata yang masih terbatas. • Si batita mulai belajar aturan dan disiplin. Sosialisasikan jadwalnya  dari bangun hingga tidur kepada pengasuh. Disipilin  terutama dikembangkan dari konsistensi waktu dan perilaku. Tubuh anak akan membentuk sistem disiplinnya sendiri jika dibiasakan untuk mengikuti pola aktivitas dengan konsisten. • Si batita akan menyerap 100% yang dikatakan dan cara kita berperilaku. Karena otaknya belum mampu menganalisis sebab akibat, ia akan menyerap saja apa yang ia dengar, lihat, dan dialaminya. Oleh karena itu, didik pengasuh untuk memberikan contoh-contoh yang baik untuk anak. Anak batita akan mencontoh dengan segera ucapan terima kasih, memberikan salam, berkata lembut, berolahraga, nyayian, dan lain-lain.

(Santi Hartono/Foto:thinkstock)