Semangat Berkompetisi Anak Tinggi

By Ipoel , Senin, 10 November 2014 | 20:00 WIB
Semangat Berkompetisi Anak Tinggi (Ipoel )

TANYA:

Bu Mayke, puteri saya baru duduk di TK (5,7), tapi saya lihat semangat kompetisinya sudah tinggi. Di kelas selalu ingin bersaing dengan teman-temannya, selalu ingin menjadi yang terbaik, padahal hasilnya saya lihat kadang tak maksimal. Saya bingung bagaimana memberitahukan puteri saya bahwa dia tak perlu merasa bersaing dengan temannya. Yang penting bagi saya, dia sudah maksimal dalam mengerjakan tugasnya. Lagi pula di usianya saya ingin dia lebih banyak fun-nya, bermain dengan teman-teman daripada bersaing. Semangat berkompetisi anak tinggi, bagaimana menghadapinya  Winny Irawati – via facebook

JAWAB:

Terima kasih Winny, sudah menjadi orangtua yang tidak memaksakan anaknya untuk berkompetisi. Berkompetisi dalam hidup memang perlu, namun di usia balita masih terlalu dini apalagi bila anak terlalu memaksakan dirinya. Dalam kegiatan belajar, yang diutamakan adalah proses bagaimana anak mengerjakan tugasnya, yaitu dengan sepenuh hati dan tidak berorientasi pada hasil.  Apabila hanya berorientasi pada hasil, dikhawatirkan anak akan mengalami distress atau kadang kala menempuh cara yang tidak halal/memotong kompas.

Pada kenyataannya, ada anak-anak yang sejak kecil sudah menunjukkan keinginan untuk menjadi yang terbaik, walaupun lingkungan keluarga tidak mendorongnya berambisi seperti itu. Hal ini mempunyai sisi positif dan negatif. Sisi positif, tanpa disuruh anak mempunyai keinginan menjadi yang terbaik; sedangkan sisi negatifnya, anak terlalu memaksakan diri dan tidak bisa menerima kegagalan sehingga akhirnya mungkin saja mudah mengalami distress.

Sebagai ibunya, Anda bisa mencoba mencari tahu, apa yang membuatnya ingin menang. Pernyataan yang bisa disampaikan adalah: “Ibu lihat kamu penasaran kalau ada teman yang mengalahkan kamu”; “kalau ada teman yang mengalahkan kamu, kamu takut guru dan teman-teman nggak peduliin kamu lagi”; “kamu merasa malu kalau dikalahkan”; “kamu merasa kecewa kalau bukan jadi orang nomor satu di kelas”; “kamu takut Ibu dan Ayah gak sayang lagi sama kamu”. Dari ungkapan tersebut, diharapkan anak bisa mengemukakan apa yang sebenarnya membuat dia tidak mau kalah. 

Setelah mengetahui alasan kenapa dia ingin menjadi nomor satu di kelas, barulah Ibu memaparkan fakta. Misalnya, “Karena kamu ingin jadi orang yang nomor satu bisa selesaikan tugas, maka banyak kesalahan yang dibuat”; “Ibu Guru tidak memberi nilai karena tulisan kamu acak-acakan tidak terbaca”. Berulang kali yang Ibu sajikan adalah fakta, bukan rekaan. Caranya, dengan menunjukkan hasil kerjanya, misalnya membandingkan hasil mewarnai gambar yang sebenarnya sudah rapi dengan hasil mewarnai yang dia buat secara terburu-buru.  Atau, bandingkan jumlah kesalahan yang dia buat ketika dilakukan secara terburu-buru dengan ketika dia lakukan dengan rileks. Dengan memaparkan fakta, diharapkan lambat laun anak akan menerima saran Ibu. Sekian dulu dan berharap Winny mampu meredakan keinginan anak yang menggebu-gebu untuk menjadi orang nomor satu di kelasnya. (Dra. Mayke S. Tedjasaputra, MSI., Play Therapist dan Psikolog)