Masih Kecil, Kok Sensitif?

By Dini, Senin, 15 Februari 2016 | 04:30 WIB
Masih Kecil, Kok Sensitif? (Dini)

Tabloid-Nakita.com - Mama seringkali heran, mengapa si kecil mudah sekali menangis. Kadang-kadang diawali dengan tetesan air mata dengan wajah sedih, di saat lain ia langsung menangis keras dengan suara memilukan. Padahal, Mama tidak sedang memarahinya. Tidak heran, Mama mengira si kecil sedang bertingkah.

Namun, ternyata memang ada anak-anak dengan kepribadian sensitif. Hal ini bahkan bisa terlihat sejak usia anak masih beberapa bulan.

"Itu merupakan suatu ciri kepribadian yang umum, yang menyebabkan anak jadi merasakan luka fisik dan emosional lebih dalam daripada yang lain," jelas Jeremy Schneider, ahli terapi keluarga di New York City.

Anak-anak bisa saja dilahirkan sensitif secara emosional, tapi perilaku mereka mungkin tidak akan menonjol hingga usia 5 atau 6 ketika anak-anak pada umumnya sudah tidak mudah mengalami tantrum. Meskipun anak-anak mungkin belum bisa mengatasi perasaan tersebut, tapi mereka bisa diajarkan untuk mengontrol reaksi mereka. 

Anak-anak berkepribadian sensitif cenderung menangis setiap kali mereka mengalami emosi yang kuat, entah itu akibat kejadian yang memalukan atau membuat frustrasi. Misalnya saja, Mama sedang berbelanja di minimarket, lalu si kecil meminta permen. Mama melarangnya karena khawatir akan merusak giginya. Lalu si kecil berkilah, "Kata Papa boleh, kok!" Ternyata, setelah melihat si kecil makan permen, Papa berkata pada Mama, "Kok adek makan permen? Jangan dibiasakan nih, nanti giginya rusak."

Si kecil yang mendengar ucapan Papanya langsung menangis keras, antara merasa tidak didukung oleh Papanya, atau malu ketahuan berbohong karena sebenarnya ia belum pernah meminta izin membeli permen. Yang mengherankan, Papa sebenarnya mengucapkan kalimat tersebut untuk Mama. Namun, si kecil yang mendengarnya langsung merasa terpukul.

Anak yang sensitif akan bereaksi ketika dunia seolah tidak merespons sesuai harapan-harapan mereka. Tangisan menjadi cara mereka mengekspresikan diri, karena mereka belum bisa menggambarkan perasaanya, atau mengungkapkannya melalui kata-kata. Jika anak terlihat menangis lebih sering dari biasanya, bahkan untuk hal-hal yang remeh, ada kemungkinan dia mempunyai kepribadian yang ekstra sensitif.

Studi yang pernah dilakukan Harvard University mendapati bahwa 10 persen bayi usia 16 minggu yang sangat terganggu dengan suara-suara gaduh dan orang-orang tak dikenal, akan terus mempertahankan sisi sensitif dirinya ketika sudah lebih besar.

"Beberapa anak  belum mengembangkan kontrol batinnya. Maka ketika mereka marah atau kecewa, seluruh emosi mereka muncul di permukaan dan keluar dalam bentuk banjir airmata," kata Michele Borba, EdD, penulis buku The Big Book of Parenting Solutions.Bahkan anak-anak yang pada dasarnya tidak mudah menangis pun bisa mengalami masa-masa emosional, tambah Elizabeth Pantley, penulis buku serial No-Cry. "Jika ada perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, seperti pindah rumah atau ada adik baru, anak bisa menjadi lebih sensitif," katanya.

Oleh karena itu, ketika si kecil terlihat menangis padahal tidak sedang lapar, ketakutan, mengantuk, dilarang bermain, atau habis jatuh, amati rutinitas hariannya atau bahkan cara Mama berbicara. Karena, menghadapi anak sensitif ternyata butuh perhatian ekstra.

(Dini/Parents/Medical Daily)