Tabloid-Nakita.com - Kapan Mama terakhir kali makan bersama keluarga di rumah? Jawabannya bisa beragam. Mungkin ada yang mengatakan dua minggu lalu, ada yang dua hari lalu tapi hanya dihadiri oleh Mama dan si kecil, mungkin ada juga yang mengatakan hari Minggu yang lalu, karena Mama, Papa, dan anak-anak baru bisa berkumpul lengkap saat akhir pekan saja.
Padahal, makan bersama di meja makan keluarga sudah menjadi tradisi sejak Mama masih kanak-kanak. Orangtua masih bisa sarapan bersama sebelum ayah ke kantor, atau anak-anak berangkat ke sekolah. Rutinitas ini berulang saat malam hari, saat ayah sudah pulang dari kantor dan anak-anak di sela-sela waktu belajarnya.
Momen makan bersama ini menjadi kesempatan bagi keluarga untuk saling berbagi cerita. Papa dan Mama saling menceritakan aktivitas di tempat kerja, anak-anak berceloteh tentang guru mereka yang baik hati. Momen tersebut juga jadi peluang Papa Mama untuk mengajarkan sopan santun pada anak, saling berbagi dengan kakak-adik, dan tentunya, memuji masakan buatan Mama!
Namun, padatnya aktivitas sehari-hari, ditambah dengan kemacetan lalu lintas di ibu kota saat ini, membuat keluarga sulit berkumpul untuk sekadar makan bersama. Papa atau Mama harus berangkat pagi-pagi dari rumah jika tak ingin terlambat sampai di kantor. Anak-anak baru pulang dari sekolah pukul 15.00, sehingga mereka sudah makan siang di sekolah. Begitu pula saat jam pulang kantor. Kemacetan menghambat para pekerja untuk tiba di rumah tepat waktu.
Tidak heran, tradisi makan bersama di rumah pun mulai ditinggalkan. Papa memilih membawa bekal atau membeli sarapan di kantor untuk menghemat waktu. Mama dan anak-anak memilih makan malam lebih dulu karena Papa baru sampai di rumah sekitar pukul 21.00.
"Fenomena ini memang sudah berlangsung cukup lama. Dulu yang kerja cuma ayah, sekarang ibu juga bekerja. Kalau misalnya jalanan tidak macet, keluarga bisa makan malam bareng. Tapi kalau jam 21.00 baru pulang, masa baru makan jam 21.00? Jadi bukannya kita tidak ingin makan bersama keluarga, tapi karena kita didera kesibukan," ujar Ajeng Raviando, psikolog anak dan keluarga, dalam talkshow "Ciptakan Kembali Tradisi Bersantap di Rumah" bersama Tupperware di South Quarter, Jakarta, Jumat (20/5).
Hilangnya tradisi makan bersama di rumah ini akhirnya menghilangkan kesempatan bagi anggota keluarga untuk bertemu satu sama lain, dan bersentuhan dalam arti berinteraksi. "The power of touch itu menciptakan bonding. Karena komunikasi di meja makan lebih simpel, tapi menyenangkan. Kita bisa ngobrol-ngobrol seru lucu yang enggak kepikiran saat kita berbicara di telepon," kata Ajeng.
Yang paling penting, orangtua akan kehilangan momen untuk mendampingi perkembangan anak. Menurutnya, di meja makan orangtua bisa mengajarkan etiket makan. Kalau anak-anak biasa makan di sofa sambil nonton televisi atau main gadget, bersantap di meja makan bisa membuat satu sama lain saling bertatapan. Keluarga bisa saling mengungkapkan perasaan, sehingga momen tersebut akan sangat berkesan dan selalu diingat oleh anak ketika dewasa.
"Kita perlu mengingat momen-momen tertentu dalam keluarga. Misalnya, dari peralatan makan yang digunakan, atau dari tata cara makan yang diterapkan, itu juga meninggalkan kesan tertentu," tukas Ajeng. Eh, ternyata piring atau mangkuk yang digunakan saat makan di suatu tempat mirip dengan piring yang dulu dipakai makan di rumah keluarga Mama waktu kecil, lho. Nah, pasti Mama sering mengalami hal seperti ini, kan?
Meskipun demikian, Ajeng tetap memahami kesibukan keluarga modern saat ini. Untuk itu, ia menganggap masih pantas jika tradisi bersantap di rumah dilakukan minimal satu kali seminggu, entah makan siang atau makan malam. Bagaimana dengan Mama? Masihkah rutin makan bersama keluarga di rumah?(Dini)