Seperti sudah disebutkan, Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya fasih berbahasa Melayu, tetapi juga Jawa, Siam, Hindi, Arab, dan Persia.
Bahasa Arab dan Persia, merupakan bahasa penting pada abad ke-16, termasuk mengenai tasawuf Islam.
Di Barus pada masa itu, sudah berkembang suatu dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai.
Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya dapat dianggap contoh terbaik ragam bahasa Melayu Barus.
Semua pegiat Sastra Nusantara menyebut bahwa Hamzah Fansuri adalah penyair agung di rantau Sumatera.
Disebutkan oleh A Teeuw, ketika Valentijn (seorang sarjana Belanda) mengunjungi Barus pada 1706, ia membuat catatan yang menunjukkan kekagumannya kepada sang penyair.
Ini tidak lepas dari syair dan puisi Syekh Hamzah yang menakjubkan.
Syekh Hamzah terkenal sebagai figur penting dalam sejarah kebudayaan Melayu-Indonesia.
Kemasyhurannya meliputi banyak bidang, yakni kesusastraan, tasawuf, dan dakwah Islam.
Namun, sedikit sekali yang dapat memastikan detail riwayat hidup sang perintis tradisi penulisan syair berbahasa Melayu itu.
Hamzah Fansuri banyak melakukan kreasi atau inovasi baru, yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra Melayu lama.