Tabloid-nakita.com. Mengompol pada anak menjadi tidak wajar jika terjadi setiap hari. Karena anak sudah melakukan toilet training, memang seharusnya anak juga sudah pandai mengontrol keinginan untuk buang air kecil. Artinya, ia sudah tahu kapan ingin ke toilet kapan tidak. Maka jadi tak wajar ketika anak ngompol setiap hari. Selain itu, perlu juga periksa ke dokter jika perilaku mengompol pada anak tidak juga berkurang hingga usia 8 hingga 11 tahun. Karena pada usia itu, kurang dari 5% persen anak yang masih ngompol pada usia tersebut. Lalu, mengapa masih mengompol? Mengompol pada dasarnya disebabkan oleh proses kematangan sistem saraf yang mengontrol buang air kecil pada anak. Pada anak prasekolah yang mengompol, kejadian mengompol tersebut sebenarnya merupakan kejadian wajar, meskipun bagi anak peristiwa ini sangat tidak menyenangkan. Salah satu hal psikologis yang kerap memperparah perilaku mengompol justru datang dari orangtua, yakni ketika orangtua sering kali menyalahkan anak karena mengompol. Orangtua model begini malah akan membuat anak merasa malu pada dirinya dan merasa bersalah.
Sebetulnya anak sudah tahu dan bisa merasakan akan kencing, tetapi kadang ia tak segera bicara pada orang tua/pengasuhnya, sehingga keburu bocor dan mengompol. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab hal tersebut. Pertama, respons orangtua/pengasuh yang lambat ketika anak sudah melapor ingin kencing, sehingga membuat anak ‘ogah’ untuk segera melapor karena merasa diabaikan. Misalnya ketika ibu sedang bekerja dan tiba-tiba anak ingin kencing, lalu ibu mengeluh dan memarahi anak yang pengin kencing. Hal ini membuat anak berpikir bahwa “ketika orangtua/pengasuh saya tahu bahwa saya ingin kencing maka saya dimarahi”.Kedua, kebiasaan anak untuk menahan kencing ketika asyik bermain/menonton televisi. Namanya juga anak, kalau sudah main atau asyik melakukan sesuatu ia bisa lupa hal lainnya. Sangat mungkin anak lupa atau malah tak begitu menanggapi keinginan dirinya sendiri untuk kencing. Ia memilih menahan kencing dan melanjutkan permainannya.
Ketiga, seringnya orangtua/pengasuh memarahi anak ketika ketahuan mengompol. Toilet training yang terlalu keras justru membuat anak merasa “takut kotor.” Anak lebih mudah cemas karena khawatir dimarahi oleh orangtua saat ia mengompol.
Agar anak tidak mengompol, tentu saja kita harus lebih konsisten dan lebih sabar dalam menghadapi anak. Lalu, ubah sedikit persepsi kita, bahwa mengompol itu adalah bagian dari proses belajar anak. Ya, sesungguhnya dengan mengompol anak tahu bagaimana rasanya basah dan kotor. Bantu anak mengenali mengompol itu bagaimana dan apa yang harus dilakukan, “Mengompol ya, Kak? Basah nih baju dan celananya, yuk kita ganti baju.” Setelah ganti pakaian, ingatkan anak untuk selalu lapor jika mau kencing. Respons yang tepat akan sangat membantu anak memahami perilakunya sendiri, sekaligus tahu bahwa mengompol itu rasanya tidak nyaman.
Terakhir, kita dapat membiasakan anak untuk buang air kecil pada jam-jam tertentu sehingga akan membantu membentuk reaksi biologis secara teratur terkait dengan keinginan buang air. Keempat, jangan marahi anak ketika mengompol, tetapi justru memberikan apresiasi ketika anak sudah dapat merasakan keinginan untuk pipis dan berani pergi ke kamar mandi. Ini akan membuat anak merasa usahanya untuk buang air kecil pada tempatnya berefek baik bagi dirinya dan perilakunya biasanya akan berulang.
Bagi anak yang masih mengompol saat tidur malam hari, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. Pertama dan utama, selalu biasakan anak untuk kencing sebelum tidur, sekaligus menjadikannya bagian dari ritual sebelum tidur. Kedua, kurangi frekuensi minum pada anak saat mendekati jam tidur. Ketiga, bawa anak ke kamar mandi ketika jam tertentu di tengah malam. Hal ini tidak akan membangunkan anak-anak, justru akan membuat anak untuk memberanikan diri bangun ketika saat-saat ia tidur dan ia merasa ingin kencing.
Santi Hartono. Foto: www.nashvilleparents.com