Ayah Menjawab Soal Momongan

By Santi Hartono, Selasa, 17 Maret 2015 | 11:00 WIB
Ayah Menjawab Soal Momongan (Santi Hartono)

Tabloid-nakita.com – Ketika suatu pasangan belum dikaruniai buah hati, apalagi setelah menjalani pernikahan selama bertahun-tahun, umumnya banyak yang menganggap sang wanita akan merasa lebih berduka ketimbang si pria. Namun, benarkah demikian? Sesungguhnya, siapakah yang lebih bersedih ketika belum memiliki momongan, Ibu atau ayah? Lantas, bagaimana ayah menjawab soal momongan?

Kebanyakan wanita dibesarkan dalam anggapan bahwa kelak mereka akan menjadi seorang ibu. Dari boneka bayi yang pertama sampai acara syukuran kelahiran yang terakhir, para gadis dan wanita dikelilingi bayangan serta harapan dari orangtua, teman, agama, iklan, maupun media.

 Bagi sejumlah wanita, menjadi ibu mengisi sebagian besar citra diri mereka sebagai wanita. Bagi sebagian yang lain, menjadi ibu adalah ambisi yang tertinggi. Bahkan para wanita yang tidak sepenuhnya ingin menjadi ibu pun menyadari harapan dari kalangan dekat agar mereka kelak menjadi seorang ibu.  

  Tekanan untuk menikah dan membangun keluarga bisa menjadi sangat tinggi—sampai-sampai wanita yang tidak bisa melakukan kedua hal itu akan merasa ada sesuatu yang sangat salah dengan mereka atau dalam kehidupan mereka.

 Sementara itu, para pria tidak mendapatkan tekanan yang sama untuk menjadi seorang ayah. Dan banyak pria dididik untuk menekan perasaan atau setidaknya menyimpannya untuk diri mereka sendiri.

    Seorang pria mungkin sama frustrasi dan kecewanya setelah ia dan pasangannya melewati pengobatan demi pengobatan, dan bulan demi bulan, namun tetap saja sang istri belum mengandung. Meski begitu, banyak pria yang mengedepankan peran untuk tetap kuat demi pasangan mereka. Atau mereka begitu terbiasa untuk menyimpan perasaan hingga mereka tidak tahu apa yang mereka rasakan atau bahwa mereka bisa meminta bantuan kepada orang lain. Jika masalah kesuburan terletak pada si pria, misalnya kualitas sperma yang buruk, maka citra laki-laki pada pria itu akan mulai goyah.

    Dari sejumlah penelitian tampak bahwa, sebagai kelompok, wanita dengan masalah kesuburan sama cemas dan depresinya dengan wanita yang menderita kanker, sakit jantung, atau AIDS. Salah satu penyebabnya mungkin adanya tuntutan fisik untuk menjalani sejumlah pengobatan kesuburan—tes darah, pil, suntikan hormon harian, ultrasonografi,  pengambilan sel telur, dan operasi, yang bisa menjadi sumber semua rasa stres dan emosi yang bergolak dalam hati wanita.

     Selain itu, masyarakat juga umumnya gagal menyadari rasa getir yang disebabkan oleh ketidaksuburan, sehingga mereka yang menyangkal keinginan sebagai orangtua cenderung untuk terus menyembunyikan kesedihan mereka, yang pada akhirnya malah meningkatkan perasaan malu dan terisolasi.