Tabloid-Nakita.com - Sesuai aturan, di Indonesia cuti hamil diberikan selama 3 bulan? Berapa lama cuti ibu hamil yang ideal? Lama cuti 3 bulan, apakah dipandang cukup atau tidak, menurut dr. Eka Putra Agung Raharja SpOG, sebetulnya sudah ideal apabila kehamilan berjalan normal dan pemeriksaan antenatal care dilakukan terjadwal. Cuti hamil 6 minggu sebelum dan 6 minggu sesudah persalinan berarti cukup, katanya. Usulan dan dukungan memperpanjang cuti bersalin hingga 6 bulan boleh-boleh saja. Namun, menurutnya beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kelahiran hidup (paritas) dan pekerjaan tidak berhubungan dengan pemberian ASI Eksklusif.
Justru yang lebih berperan adalah pengetahuan tentang ASI Eksklusif. Sedangkan, dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan lebih menentukan keberhasilan pemberian ASI eksklusif. “Oleh karena itu usulan perpanjangan cuti, perlu dibarengi dengan edukasi bagi para orangtua tentang manfaat pemberian ASI Eksklusif, demikian pula dukungan keluarga serta petugas kesehatan terhadap pemberian ASI eksklusif. Di samping itu tentunya perusahaan atau institusi yang memberikan pekerjaan harus mempersiapkan sarana dan prasarana penunjang kesehatan maternitas untuk mendukung pemberian ASI ekslusif,” ujar spesialis kebidanan dan kandungan dari RS Hasanah Graha Afiah-Depok ini.
Pendapat Eka Putra agaknya senada dengan yang diungkapkan CEO Yahoo, Marissa Mayer, yang hanya mengambil cuti melahirkan dua minggu. Ia berkata, dengan cuti hamil yang sesingkat itu, ia tetap bisa mengasuh anak dan ternyata tak sesulit seperti yang ia bayangkan sebelumnya.
Eka Putra juga mendorong suami berani mengambil cuti lebih lama pada saat mendampingi istri bersalin. “Pendampingan oleh suami merupakan hal yang sangat penting bukan hanya pada saat persalinan dan pascapersalinan, bahkan sejak hamil melakukan pemeriksaan kehamilan, mengikuti program antenatal, mendampingi senam hamil sampai mengikuti proses persalinan dan masa nifas seyogyanya dukungan pendampingan oleh tidak boleh terputus.”
Apabila persiapan persalinan dan masa nifas dihadapi bersama dengan baik maka seorang ibu akan lebih tegar menghadapi persalinan dan pascapersalinannya. Dengan demikian cuti yang diambil suami bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mendampingi pasangannya dalam menghadapi persalinan.
Bagaimana dengan aturan hukum bagi ibu hamil yang bekerja, berikut penjelasannya seperti dikutip gajimu.com:
Adakah larangan hamil bagi pekerja perempuan di dalam Undang-undang?
UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memberikan kewenangan kepada pengusaha atau perusahaan untuk membuat perjanjian kerja yang memuat ketentuan larangan menikah maupun larangan hamil selama masa kontrak kerja atau selama masa tertentu dalam perjanjian kerja.
Ketentuan ini tedapat pada Pasal 153 ayat 1 huruf e UU No.13/2003 yang berbunyi : Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan karena pekerja hamil adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan sesuai Pasal 153 ayat 2 UU No.13/2003.
Bagaimana peraturan mengenai cuti hamil/cuti melahirkan menurut Undang-Undang?
Pengaturan mengenai cuti hamil ini diatur dalam Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut :
- Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
- Pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pekerja perempuan berhak memperoleh cuti selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan atau jika diakumulasi menjadi 3 bulan.
Sudah jelas kan Mam?