4 Cara Bangun Kecerdasan Diri Anak

By Ipoel , Jumat, 22 November 2013 | 03:00 WIB
4 Cara Bangun Kecerdasan Diri Anak (Ipoel )

TabloidNakita.com - Kesadaran diri (self awareness) perlu diajarkan di usia batita. Sebab, kesadaran ini muncul di rentang tersebut. Tujuannya, agar anak bangga dengan miliknya atau dirinya sendiri. Hal itu diamini oleh Rahmi Dahnan, psikolog dari Kita dan Buah Hati. Rahmi mengatakan, pembentukan self awareness pada dasarnya bermula dari keakuan atau me self  lalu berlanjut ke konsep diri (self concept). Kedua hal yang membentuk kesadaran diri ini akan muncul secara alami pada rentang usia 15—30 bulan. Periode tersebut menjadi penting karena pada masa inilah anak mengembangkan kesadaran siapakah dirinya.

Umumnya, kemunculan ini seiring dengan meningkatnya keterampilan berbahasa anak, yaitu ketika si batita sudah mampu menggunakan kata “saya” dan “kamu”. Meski begitu Rahmi juga menekankan, lingkungan ikut berperan memunculkan self awareness ini, khususnya orangtua. “Kalau ayah dan ibu sejak awal mau menerima dan memberikan pengakuan atau penghargaan terhadap kehadiran si anak, umumnya akan lebih cepat menumbuhkan kesadaran diri yang baik pada anak.”

 

STIMULASI KEAKUAN         

Seperti dijelaskan di atas, self awareness dimulai dari keakuan. Untuk menumbuhkan keakuan ini, selain bermain lewat cermin, dapat dilakukan beragam stimulasi, seperti:

Memberikan rasa aman dan nyaman.

 

Adanya rasa nyaman dan aman dalam diri anak akan menumbuhkan kesadaran bahwa ia diterima oleh lingkungannya. Rasa aman dan nyaman dapat ditumbuhkan lewat pelukan dan perhatian yang hangat.

Tidak pelit pujian.

 

Sedari kecil, anak perlu diberikan apresiasi positif atas kemajuan yang dicapainya. Bukan dalam bentuk barang, tapi berupa pujian yang mampu mengembangkan rasa percaya diri anak. “Wah, Adek kalau disuruh mandi cepat, ya. Pinter deh. Tuh kan, badannya jadi wangi.”

Selalu memberikan tanggapan positif.

Orangtua harus menghindari menciptakan emosi negatif ketika anak sedang menyampaikan penilaian tentang dirinya. Alangkah baiknya bila komentar yang disampaikan dikaitkan dengan nilai-nilai agama dan kepantasan. Contoh, “Bunda, kata Kakak, hidungku pesek.” Bisa dijawab dengan, “Hidung Adik memang tidak mancung, tapi hidung Adik sekarang sudah sesuai dengan wajah Adik. Ini yang terbaik untuk wajah Adik. Yuk, kita lihat. Sudah pas dan sesuai ya.... Kalau dibuat jadi lebih mancung malah kelihatan aneh.”

Mengenalkan beragam emosi.

 

Ketika batita sedang sedih dan menyampaikan perasaannya kepada orangtua, tunjukkan empati dengan memberi pengakuan sehingga si anak dapat mengenali perasaannya. “Adik sedih?” Pertanyaan seperti itu membuat si batita mengetahui dengan lebih jelas perasaan yang sedang dialaminya.