Kok, Ngotot Sih?

By Ipoel , Rabu, 3 Juli 2013 | 01:00 WIB
Kok, Ngotot Sih? (Ipoel )

Coba deh perhatikan bagaimana polah si batita saat merebut paksa mainan temannya. Ketika dibujuk atau diminta untuk mengembalikan mainan itu, sikapnya langsung berubah garang, tangan mungilnya memegang mainan itu kuat-kuat, seolah semua usaha akan dia kerahkan untuk mempertahankan mainan itu. Kali ini, sewaktu menunggu giliran, entah bermain atau menerima sesuatu, sikap ngotot-nya pun kerap muncul. Ia selalu ingin didahulukan, bila dihalangi ia akan ngotot alias memaksa terus. Demikian pula saat bermain, entah bermain kotor-kotoran atau apa pun yang dilarang orangtua, semakin dilarang semakin ngotot ia mau melakukannya.

Yang jelas, perilaku ngotot si batita ini adalah wajar. Pada masa  batita, anak sedang berada pada fase egosentris alias memandang segala sesuatu dari sudut pandang dirinya  sendiri, sekaligus ingin diakui keberadaannya. Dirinyalah yang harus didahulukan, yang lainnya masa bodoh. Sikap egosentris ini ditunjukkan si batita lewat perilaku belum mampu bergabung atau bermain dalam satu kelompok. Ia masih kesulitan menjalin relasi dengan teman sebaya.

Ia juga belum dapat memandang partisipasi sebagai “kita” ketika melakukan sesuatu bersama, tetapi lebih sebagai “saya” menginginkannya. Nah, untuk mewujudkan keinginannya, ia akan melakukan segala usaha agar berhasil, baik dengan mimik muka, fisik, kata-kata, dan mungkin tangisan alias ngotot. Rasa ingin tahu yang tinggi juga menjadikan si batita kerap bersikap ngotot. Ia akan melakukan apa pun demi memenuhi rasa ingin tahunya. Sering, karena dianggap membuat rumah berantakan, berbahaya, atau dapat mengundang penyakit, orangtua lantas melarang anak, yang disambut dengan sikap  ngotot-nya. 

Sikap egosentris ini akan terus ada, meski seiring dengan semakin bertambahnya usia, kemunculannya semakin berkurang, sesuai situasi dan kondisi. Bila diarahkan dengan baik, seiring perkembangan usia dan kematangannya, anak jadi tahu kapan dan dalam hal apa ia  harus ngotot dan kapan tidak. Bahkan, bila diarahkan dengan benar, sifat ini dapat memacu anak meraih prestasi, memiliki keterampilan, dan menggapai cita-cita serta impiannya. Bukankah manusia harus ngotot belajar supaya pintar?

Agar anak mengerti, orangtua berperan mengarahkan sekaligus menjelaskan, mana perilaku ngotot yang perlu dihentikan dan mana yang perlu dipertahankan. Tentu siasat yang tepat perlu dilakukan, sebab tidak mudah menjinakkan ke-ngotot-an anak usia ini.  Berikut tip-tipnya:

1. Beri penjelasan

Selalu beri penjelasan dan pengertian saat orangtua melarang atau memberi perintah. Sebetulnya, setiap anak bisa diberi pengertian, tetapi dengan catatan, dari kecil anak sudah dibiasakan. Hindari mengatakan “jangan ini-itu” tapi tidak diiringi penjelasan yang mudah dicerna oleh anak, mengapa dirinya dilarang ini dan itu. Akibatnya, anak tidak paham dan bukan tidak mungkin akan terus ngotot untuk melakukan apa yang diinginkannya.

2. Beri solusi

Jangan hanya melarang, tapi berikanlah solusi. Kalau anak ngotot duduk di atas meja. Orangtua hendaknya bukan cuma berkata, “Jangan naik ke atas meja, awas nanti jatuh!”melainkan beri tahu bagaimana sebaiknya atau pilihkan aktivitas lain yang tak kalah mengasyikkan. Jadi, sambil menurunkan anak dari atas meja, katakan, “Adek, naik ke atas meja itu berbahaya karena bisa membuatmu terjatuh. Daripada naik-naik meja, yuk, kita main lego di ruang tamu atau baca buku di ruang depan.” Cara ini lebih efektif daripada berteriak melarang yang membuat anak malah semakin ngotot atau mengulangi perbuatannya. Ingat, anak memiliki dunia yang berbeda dari orangtua atau orang dewasa. Dunia anak tetaplah dunia bermain. Yang perlu orangtua lakukan adalah menyediakan fasilitas bermain yang aman dan nyaman buat anak.

3. Konsisten

Sering kita saksikan, anak ngotot dengan cara merengek minta mainan pada saat pergi ke mal. Nah, agar hal ini tak terjadi, sebelum pergi, anak dapat dikondisikan bahwa nanti kita mau pergi ke mal dengan tujuan membeli barang tertentu. “Kita tidak membeli mainan karena mainan masih banyak dan minggu yang lalu Adek sudah beli mainan,” misalnya. Jika kemudian di mal anak berperilaku tidak diharapkan, bersikaplah konsisten dengan tidak menuruti keinginannya mendapat mainan baru. Sekali saja orangtua tidak konsisten, anak akan  berperilaku ngotot lagi di kesempatan lain. Demi kebaikan anak, orangtua juga harus ngotot dalam berpendirian.