Fase Animisme Pada Batita, Apa Itu?

By Ipoel , Kamis, 30 Mei 2013 | 03:00 WIB
Fase Animisme Pada Batita, Apa Itu? (Ipoel )

Nakita.id - Batita melewati fase animisme yakni fase dimana ia memiliki ketertarikan pada benda-benda mati dan menganggapnya hidup. Sebagaimana teori yang dikembangkan oleh tokoh psikologi, Jean Piaget, anak-anak yang berada pada fase animisme cenderung berpikir bahwa semua objek tak bergerak atau tak hidup yang ada di lingkungannya memiliki kemampuan seperti halnya manusia atau makhluk hidup, yaitu dapat bertindak atau berperilaku, berbicara, diajak berdialog, menyerang, dan sebagainya. Menurut Piaget, hal ini terjadi lantaran perkembangan kemampuan kognitif anak usia batita yang demikian pesat. Kemampuan kognitif ini berkembang secara bertahap, sejalan dengan perkembangan fisik dan saraf-saraf yang berada di pusat susunan saraf. Nah, fase ini merupakan masa permulaan bagi anak untuk membangun kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Oleh sebab itu, cara berpikir anak pada fase ini belum stabil dan tidak terorganisasi secara baik. Alhasil, jangan heran kalau benda-benda mati tersebut dianggapnya hidup.

Piaget juga menyebut fase animisme sebagai istilah lain tahap pemikiran praoperasional pada usia anak-anak. Salah satu cirinya, anak masih berpikir secara egosentris, ditandai oleh ketidakmampuan untuk memahami perspektif atau sudut pandang orang lain. Akibatnya, ia tak  peduli apakah mau asyik ngobrol  dengan mainannya, atau malah lari terbirit-birit karena takut pada mainannya sendiri. Pada fase ini, pola berpikirnya belum menyentuh realita, sehingga masa ini kerap disebut tahap realisme, yaitu kecenderungan untuk menanggapi segala sesuatu sebagai hal yang riil atau nyata.

Di sisi lain, daya imajinasi anak pun semakin berkembang beriringan dengan kemampuan berbahasanya. Ia mampu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, mulai dapat mengombinasikan beberapa kata, dan mulai memahami kalimat-kalimat sederhana. Jangan heran kalau anak senang mengajak ngobrol  mainannya. Kemampuan motoriknya juga sedang berkembang pesat, sehingga ia senang mengutak-atik mainannya. Ini merupakan hasil dari rasa ingin tahu yang tinggi. Jadi, pada fase animisme ini anak sedang berupaya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan objek berupa benda-benda tersebut.

Tentu saja, perilaku ini juga didasari oleh peniruan. Di usia batita, anak memang gemar meniru orang lain dan apa saja yang dilihatnya. Makan disuapi ibu ia tiru dengan mencoba menyuapi boneka kesayangannya. Memukul lantai untuk mengalihkan tangis anak yang terpeleset, lantas ditiru olehnya sambil berseru, “Uh, lantai nakal!” Bukannya berhati-hati, anak batita malah menyalahkan lantai ketika ia terjatuh lagi.

Seiring pertambahan usia, sebagai hasil dari kemampuan berpikir yang semakin berkembang dan matang, fase animisme ini akan hilang dengan sendirinya. Namun, banyak pembelajaran positif yang dapat dipetik dari periode animisme ini:

Mengembangkan imajinasi

Dengan mengajak ngobrol benda-benda tak hidup, secara otomatis si batita belajar mengembangkan kemampuan berimajinasi. Ya, berbincang dengan benda mati merupakan hasil dari rasa ingin tahu si kecil dalam upaya menalar apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Begitu juga dengan minatnya memerhatikan sungguh-sungguh, bahkan mencoba mengutak-atik mainan yang dianggapnya bisa hidup itu, juga sekaligus memuaskan rasa ingin tahunya. Nah,  makin terasahnya daya imajinasi, pada akhirnya dapat menumbuhkembangkan daya kreativitas anak.

Meningkatkan kemampuan berbahasa

Karena sering “berdialog” dengan bonekanya, mobil-mobilannya, dan benda-benda mati lainnya, otomatis akan mengasah kemampuan berbahasa atau berkomunikasi anak. Bukan hanya kosakatanya akan bertambah, anak pun akan memperoleh pengetahuan mengenal hal-hal baru.

Mengetahui sebab akibat

Anak tahu bahwa mobil-mobilannya bergerak karena remote control dan baterai yang ada di dalam mainan itu. Demikian juga saat anak jatuh, bukan karena lantainya yang salah atau nakal, melainkan dirinyalah yang kurang hati-hati berjalan saat lantai baru dipel oleh si Mbak. Dengan demikian anak belajar menemukan sebab akibat dari suatu kejadian.

Belajar memecahkan masalah

Kala “berinteraksi” dengan benda-benda yang dianggapnya hidup itu, ia juga sekaligus belajar memecahkan masalah. Contoh, ketika mobil remote control tersebut tak mau bergerak, maka si mobil tidak bisa makan seperti dirinya, namun cara makannya berbeda yaitu karena baterainya harus di-charge dulu. Jadi, anak dapat menemukan ide, usulan, atau mengajukan pandangannya dalam mengatasi “masalah” yang dialami benda yang diajaknya bicara itu.