Bermain Cermin

By Ipoel , Senin, 8 Oktober 2012 | 22:00 WIB
Bermain Cermin (Ipoel )

Aktivitas bermain cermin bisa dijadikan sarana untuk mengajarkan banyak hal, terutama yang berkaitan dengan pengenalan emosi. Si batita jadi tahu, apa yang disebut dengan ekspresi senang dan gembira lewat bayangan dirinya yang sedang tertawa, tersenyum, atau kegirangan. “Eh, anak Ayah sedang gembira, ketawa-ketawa…cantik ya.” Atau, “Waduh…waduh…anak Ayah cemberut, ngambek ni ye...”

Sebaiknya, saat emosi negatif yang tengah muncul pada si kecil, janganlah memperburuk keadaan dengan meledek, “Ih, lihat tuh di kaca, wajahmu jadi jelek kalau menangis.” Pernyataan seperti ini akan membuat perasaannya yang sedang sedih jadi bertambah sedih. Lebih baik, tunjukkan empati kita agar sakit hatinya segera terobati, “Oh, kamu menangis karena sedih tidak boleh main di luar, ya? Bagaimana kalau kita bermain di kamar saja? Sudah, jangan menangis lagi ya. Lihat, kalau menangis, wajah kamu jadi basah kena air mata yang keluar.”

Selain mengenalkan aneka emosi, orangtua juga bisa mengajak si kecil melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kelucuan dan menghibur di depan cermin. Lakukan senam wajah untuk membentuk aneka mimik yang lucu. Sesekali, gunakan pensil pewarna kulit untuk melukis wajah menjadi seperti kucing, badut, bunga, dan sebagainya.  Untuk ayah atau ibu, boleh juga gunakan alat rias seperti lipstik dan pensil alis. Anak-anak pasti terpesona dan tertawa-tawa melihat wajah baru ayah ibunya.

Mengajarkan anggota tubuh juga dapat dilakukan lewat cermin seperti, “Coba, mana gigi Adek? Kita hitung yuk gigi Adek, ada berapa ya?” Atau “Ini tangan Ayah, besar ya. Tangan Adek mana? Wah, kecil, tapi sama jarinya ada lima.”

Dengan bermain di depan cermin anak-anak sebetulnya sudah belajar banyak. Namun, meski bermanfat sebaiknya anak batita tidak dibiarkan berlama-lama bermain dengan bayangannya di cermin. Alasannya, dikhawatirkan si kecil akan menganggap bayangan dirinya sebagai teman. Padahal, di usia batita, anak perlu mengembangkan keterampilan sosialnya. Anak senang berlama-lama di depan cermin lantaran ia meng­anggap punya teman bermain yang sebaya. Apalagi jika di rumah setiap hari ia hanya bergaul dengan orangtua, pengasuh, atau kakek-neneknya.

Agar keterampilan bersosiali­sasi anak berkembang optimal, beri kesempatan kepadanya untuk  bergaul dengan sesama sebaya. Namun bukan berarti ia harus cepat-cepat bersekolah. Cukup dengan memberinya kesempatan bertemu anak sebaya di lingkungan perumahan dan  keluarga besar, ini sudah cukup membuka kesempatannya untuk mengenal teman sebaya.

Hal lain yang perlu diperhatikan orangtua, cermin adalah benda pecah belah. Apalagi biasanya cermin digantungkan di dinding. Pengawasan patut diberikan sebagai bentuk antisipasi supaya si kecil tidak sampai memukul-mukul cermin karena terdorong rasa penasaran. Karena itu orangtua wajib mengantisipasi hal-hal yang bisa membahayakan si kecil, tapi bukan dengan melarangnya dekat-dekat cermin. Larang­an hanya akan membunuh rasa ingin tahunya. Jadi, awasi saja kalau anak sudah mulai mendekati cermin. Jika sekiranya anak melakukan sesuatu yang membahayakan, tak perlu heboh. Alihkan saja perhatiannya pada hal  lain untuk menjauhkan anak dari cermin.