Di usia batita konflik dua kutub yang dihadapi adalah autonomy vs shame and doubt, atau kemandirian versus rasa malu dan keraguan. Gambarannya, di masa batita, anak seakan-akan menjadi peneliti cilik. Ia serba ingin tahu dan melakukan berbagai percobaan. Beberapa eksperimennya dapat menjadi hal yang lucu dan membanggakan bagi orangtua. Sebaliknya, ada juga aksi coba-cobanya yang mengesalkan sekaligus mengkhawatirkan. Akibatnya, sering kali orangtua melarang dengan mengatakan “jangan” atau “malu dong” tanpa disertai alasan yang jelas dan masuk akal sesuai usia si kecil. Jika tanggapan seperti ini yang sering diterima si kecil, tak heran kalau ia akan selalu merasa bersalah dan malu serta ragu akan keinginannya. Perasaan ragu dan malu ini sudah tentu akan menghambat perkembangan emosi-sosialnya karena keinginan majunya justru dihalangi oleh kekhawatiran yang diembus-embuskan orangtua. Alhasil, gangguan pada stimulasi emosi-sosial, sadar atau tidak sadar justru sering dilakukan oleh orangtua.
Padahal idealnya, tugas perkembangan anak yang meliputi aspek fisik, kognitif, emosi dan sosial menjadi tanggung jawab orangtua untuk menstimulasi sekaligus memonitornya sejak anak dilahirkan. Namun jika sepanjang hari anak bersama pengasuh atau dititipkan di TPA, dari mana anak belajar mengisi kebutuhan emosi-sosial ini? Tentunya orangtua harus menjadi role model bagi anak. Perlu diingat, berkaitan dengan stimulasi emosi sosial ini, bagian paling penting adalah interaksi dengan orangtua.
Untuk memenuhi harapan itu, sebisa mungkin orangtua wajib meluangkan waktu setidaknya ½ sampai 1 jam setiap harinya untuk berkomunikasi dan bermain bersama anak. Juga pada akhir minggu orangtua dapat mengajak anak ke lingkungan baru agar dapat bertemu dengan orang-orang baru dan berinteraksi. Dengan cara seperti itu, secara alami perkembangan sosial emosi anak batita akan terus terasah dengan baik.