Anak yang Sering Dibentak Berisiko Menjadi Bipolar

By Ipoel , Rabu, 30 Desember 2015 | 23:00 WIB
Anak yang Sering Dibentak Berisiko Menjadi Bipolar (Ipoel )

Tabloid-Nakita.com- Bipolar adalah gangguan kejiwaan yang ditandai dengan suasana hati yang mudah berubah. Kadang semangatnya meletup-letup, tapi kadang juga hilang tak bersisa. Gangguan ini dapat dialami anak dengan persentase sekitar 2-3 %. Gangguan kejiwaan ini perlu ditangani karena berisiko menurunkan prestasi akademis anak di sekolah, malas bersosialisasi, bahkan bila gangguan ini berlanjut hingga remaja, bisa berujung pada keinginan untuk bunuh diri.

Nah, menurut dr. Natalia Widiasih, SpKJ (K), selain faktor genetika dan penyakit, bipolar juga bisa disebabkan oleh pola asuh salah. Utamanya pola asuh yang mengedepankan kekerasan. Kekerasan di sini tidak hanya berupa kekerasan fisik seperti memukul, tapi juga kekerasan verbal seperti membentak.  Demikian juga bila orangtua mengeluarkan kata-kata negatif yang merendahkan anak macam “Anak nakal!”, “Dasar pemalu!”, “Begitu saja enggak bisa!”  Semua itu bila dilakukan dalam jangka waktu lama serta terus menerus akan menyebabkan anak stres. “Sedangkan stres yang berkepanjangan tanpa diatasi berisiko menyebabkan bipolar,” tegas dokter yang akrab disapa Lia. Dengan kata lain, anak yang dibentak atau dimarahi berisiko menjadi bipolar. Demikian hasil diskusi yang diadakan oleh Eugenia Communication bekerja sama dengan salah sebuah perusahaan Farmasi, di hotel Shangri-La, Jakarta, beberapa hari lalu. 

 Baca juga: Pola asuh buruk ini picu anak alami gangguan jiwa. Yuk cegah Mam

Kehilangan Orangtua Perbesar Peluang Jadi Anak Bipolar

Lebih lanjut dokter yang berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini mengatakan, kondisi rumah tangga juga berperan dalam menjadikan anak bipolar. “Sebuah riset mengungkapkan, anak yang kehilangan orangtua saat usianya dibawah 11 tahun dapat meningkatkan risiko menjadi bipolar,” ujar psikiater Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ini. Dalam kondisi kehilangan ini, anak belum bisa mengontrol emosi dengan baik, sehingga ia akan dilanda kesedihan berkepanjangan, bahkan bisa berujung depresi. Depresi merupakan pangkal jadikan anak bipolar.

Hal yang sama berlaku pada anak yang broken home. Di saat ia butuh limpahan kasih saying dari kedua orangtua, ia malah mendapatkan kondisi tragis, dimana kedua orangtua terlibat perselisihan besar yang membuatnya tertekan. Bila ia tidak menemukan solusi, maka ia akan mendapatkan tekanan besar. Semakin lama tekanan ini terjadi, maka gangguan bipolar telah menanti.

 Baca juga: Anak-anak dengan karakter ini berisiko alami gangguan jiwa

Hindarkan Risiko Menjadi Bipolar

Hanya saja, perlu diingat, berbagai faktor di atas, mulai kekerasan, kehilangan orangtua, kondisi rumah tangga yang rusak, merupakan faktor risiko. Artinya, tidak berarti semua anak yang mendapatkan kekerasan akan menjadi bipolar, melainkan hanya risikonya saja menjadi lebih besar dibandingkan anak lain yang tidak mendapatkan kekerasan.  

Selain itu, sangat sulit menegakkan diagnosis bipolar pada anak. Orangtua maupun lingkungan hanya dapat mendeteksi risiko bipolar dengan ciri-ciri yang ada pada anak. Risiko bipolar pada anak ditandai dengan adanya gangguan mood, alias suasana hati yang mudah berubah. “Anaknya gampang banget ngambek atau sedih secara tiba-tiba, tapi kadang kalau gembira juga berlebihan.”

 Baca juga: Gangguan bipolar bisa dideteksi sejak balita. Begini caranya

Pada kesempatan yang sama, Dr. Ashwin Kandouw, SpKJ menuturkan, orangtua perlu hati-hati memvonis anak bipolar.  “Saat sedih, lihat dulu, apakah anak mendapatkan stressor atau perlakuan yang membuatnya sedih atau ngambek? Jika ya, berarti ia normal,” ungkap psikiater dari Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta.  Selain itu, sangat sulit membedakan antara anak yang bipolar dengan anak yang menyandang ADHD atau gangguan pemusatan perhatian. “Dua-duanya sangat irritable dan sensitif, mudah tersinggung atau sedih saat mendapatkan respons negatif dari lingkungan. Diledek sedikit, langsung ngambek.”