Pengenalan Gender pada Anak

By Ipoel , Senin, 15 September 2014 | 07:00 WIB
Pengenalan Gender pada Anak (Ipoel )

TabloidNakita.com – Mengapa perlu dilakukan pengenalan gender pada anak? Setelah anak berumur empat tahun, gagasannya akan peran laki-laki dan perempuan menjadi semakin jelas. Seorang anak perempuan, misalnya, mengetahui bahwa papanya adalah seorang laki-laki, dia perempuan, dan dia mulai memahami bahwa apa yang dilakukan Papa berbeda dengan yang dikerjakan Mama. Si kecil mungkin belum sepenuhnya menangkap bahwa semua mama itu perempuan dan semua papa adalah laki-laki. Dengan masih mengidentifikasi laki-laki dan perempuan lewat pakaian dan penampilan umum, seorang balita masih saja bisa terkecoh. Sebagai contoh, saat melihat seorang laki-laki yang menggunakan kilt atau rambutnya dikuncir kuda—pengecualian yang berlawanan dengan “aturan” yang telah dia serap selama ini—anak Mama mungkin saja berpikir kalau laki-laki itu perempuan atau jenis kelaminnya berubah. Ini berarti pengenalan gender pada anak perlu dilakukan lebih jauh dibanding pengenalan jenis kelaminnya. Ya, karena gender lebih mengacu pada peran berdasarkan jenis kelamin yang dibangun oleh sistem sosial, juga budaya.

Karenanya, anak balita biasanya sudah memiliki sikap sangat tegas menyangkut gendernya, yaitu apa yang “seharusnya” dilakukan anak perempuan maupun anak laki-laki. Mengapa demikian? Karena selagi mengamati dan meniru orang lain yang jenis kelaminnya sama dengan mereka, para balita mengadopsi perilaku stereotipe dalam usahanya menjalani peran gendernya. Mereka bahkan mungkin akan memperlihatkan rasa tidak suka dengan anak perempuan yang bermain sepak bola, juga anak laki-laki yang ingin bermain bersama anak-anak perempuan. Dalam keluarga yang mencoba memberikan banyak permainan bebas-gender pun, anak-anak di tahapan umur ini akan memperlihatkan perilaku dan sikap stereotipe yang kaku, seperti, “Anak cewek kan nggak main bola!” Inilah ciri khas wawasan gender pada anak balita. 

Meski demikian, menunjukkan stereotipe semacam itu adalah hal yang normal untuk balita. Jika ingin, Mama dapat mendorongnya untuk melampaui pelabelan tadi. Coba tanyakan generalisasi apa pun yang mungkin digunakan atau didengar anak Mama lewat media. Misalnya, jika anak laki-laki Mama berkata, “Anak cewek nggak bisa main sepak bola”, tunjukkanlah kepadanya foto atlet sepak bola wanita. Atau gadis kecil Mama protes, “Anak cowok kok main masak-masakan?”, Mama bisa memperlihatkan program TV yang memunculkan para chef laki-laki. Jadi, mengenalkan gender pada anak butuh kreativitas.

Hal penting yang kadang terlupa soal pengenalan jenis kelamin pada anak adalah bahwa orangtua sering secara tidak sengaja menguatkan stereotipe gender. Apakah Mama memuji anak perempuan atas penampilannya ketimbang tindakannya? Apakah Mama mengatakan kepada anak laki-laki Mama untuk menjadi kuat saat dia menangis?

Yang terakhir, pernahkah Mama melihat anak laki-laki Mama memakai baju perempuan saat bermain? Atau anak perempuan yang sukanya memakai peci papanya? Nah, nah, jangan langsung mengaitkan perbuatannya itu dengan orientasi seksualnya, ya Ma. Anak berumur empat tahun memang suka meniru satu sama lain dan suka memainkan peran orang lain karena buat anak berumur empat tahun, gender merupakan konsep yang sangat berkembang. Ya, proses pengenalan gender pada anak menarik sekali bukan?