Cegah Bayi Lahir Cacat Lewat Konseling Genetik

By Faras, Jumat, 13 Juni 2014 | 13:00 WIB
Cegah Bayi Lahir Cacat Lewat Konseling Genetik (Faras)

Konseling genetik adalah penyuluhan atau penjelasan tentang kemungkinan adanya risiko bayi lahir cacat, terutama bila ada riwayat sebelumnya di dalam keluarga besar. Penjelasan ini diberikan agar pasangan lebih memahami potensi risiko yang ada, kemungkinan dampaknya, serta upaya pencegahan dan perbaikan untuk mengatasi masalah cacat bawaan tersebut.Konselor genetik akan mengajukan banyak pertanyaan seputar kesehatan dan latar belakang keluarga suami istri. Jadi, sebelum menemuinya, pihak suami maupun istri wajib membekali diri dengan sebanyak mungkin informasi kesehatan berdasarkan riwayat keluarga. Dari hasil wawancara, konselor akan menganalisis tingkat risiko bayi lahir cacat dan membantu membuat keputusan yang matang. Jika pasangan  telah mempunyai anak dengan kelainan kongenital, konselor akan menyingkirkan setiap kemungkinan penyebab yang tidak diwariskan, misalnya rubela. Kemungkinan penyebab lain, seperti paparan radiasi, obat-obatan atau cedera juga akan diamati.

PRIMER & SEKUNDER

Meski keputusan berada di tangan pasangan, dari kemungkinan risiko yang muncul, konselor genetik akan memaparkan 2 tindakan pencegahan yang dapat dilakukan, yakni pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer adalah tindakan pencegahan agar tidak memiliki keturunan atau anak. Caranya, menunda kehamilan dengan menggunakan alat kontrasepsi. Atau, memutuskan untuk mengadopsi bila memang sudah tidak memungkinkan untuk melahirkan bayi normal dan sehat.

Untuk pencegahan sekunder dilakukan dengan pengujian genetika. Tahapan pengujian genetika, diawali dengan mengisolasi DNA. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan sesuai kebutuhan, seperti analisis kromosom, analisis DNA, dan analisis DNA.

Analisis kromosom untuk mencari kerusakan pada sebuah kromosom dari gen tertentu. Paling sering dilakukan utnuk mengevaluasi DNA dari pasangan yang memiliki riwayat keguguran atau untuk mendeteksi adanya keabnormalan pada janin, seperti sindrom Down. Sedangkan analisis DNA paling sering dilakukan untuk memeriksa gangguan gen tunggal seperti fibrosis sistik atau hemofilia.

Sementara analisis protein dilakukan karena secara tak langsung perubahan DNA bisa terdeteksi melalui ada tidaknya produk gen (yaitu protein atau enzim) dalam sampel tubuh, biasanya dari darah, air seni atau cairan ketuban atau sel tubuh.Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk mendeteksi kondisi imunologis seseorang terhadap riwayat penyakit yang dideritanya yang mungkin tanpa gejala, seperti infeksi CMV, toksoplasma, rubela, dan klamidia.