Mengatur Jarak Kelahiran

By Ipoel , Minggu, 23 Juni 2013 | 23:00 WIB
Mengatur Jarak Kelahiran (Ipoel )

“Kejar setoran”, istilah ini sering disandangkan pada pasangan suami istri yang ngebet ingin punya anak lagi, padahal baru saja anak pertamanya lahir ke dunia. Alasan yang sering dikemukakan, ayah dan ibu sekalian capeknya mengurus dua atau tiga anak balita sekaligus. Setelah itu setop alias menyudahi punya anak. Alasan lain, ”banyak anak banyak rezeki” sehingga perlu mempersiapkan kehamilan sejumlah anak yang diinginkan. Memang, berapa pun anak yang diinginkan pasangan adalah hak dari pasangan tersebut meskipun banyak anak tampaknya tidak lagi menjadi tren akibat gencarnya ajakan pengendalian jumlah penduduk dunia yang kini mencapai tujuh miliar.

Terlepas dari hal tersebut di atas, yang perlu dipertimbangkan adalah mengatur jarak kehamilan. Berdasarkan beberapa literatur dan penelitian, jarak kehamilan adalah interval antara kehamilan yang satu dengan kehamilan selanjutnya. Jarak ideal antara kelahiran pertama dan selanjutnya adalah 2—4 tahun. Angka-angka ini tak muncul begitu saja, namun berdasar pada kajian-kajian keilmuan yang menyangkut kesehatan (ibu dan anak), psikologi, serta sosio-ekonomi (lihat artkel “6 Manfaat Mengatur Jarak Kelahiran”).

Sebaliknya, bila jarak kelahiran terlalu dekat ada beberapa risiko yang ditimbulkan, baik bagi ibu maupun kehidupan keluarga secara menyeluruh. Bagi ibu, risiko yang bisa terjadi adalah anemia, preeklamsia, dan eklamsia. Sementara risiko bagi janin di antaranya abortus (keguguran), kelahiran prematur, dan pertumbuhan janin terhambat. Itu semua, jika tidak terdeteksi lebih dini dan tidak ditangani secara tepat, dapat menimbulkan kematian ibu dan janin.

Bagi anak-anak, menurut riset Buckles, bila jarak kelahiran kurang dari dua tahun, maka perhatian dan pengasuhan orangtua pada si kakak mungkin akan berkurang.  Bayangkan, mengurus dan merawat dua balita sekaligus tentu waktu yang tersedia lebih banyak diberikan untuk anak yang lebih kecil. Dampaknya, timbul kecemburuan pada si kakak yang berakibat sibling rivalry atau pertikaian dengan saudara sekandung. Si sulung yang merasa kurang diperhatikan merasa ada persaingan, sehingga seolah kehadiran adik menjadi suatu ancaman yang dapat merebut perhatian orangtua terhadap dirinya.

Tak hanya itu, riset Buckles juga menunjukkan, usia anak yang beda sedikit dengan adiknya cenderung lebih sering membuat anak ini menonton teve lebih awal yaitu di usia 3 tahun yang berakibat kurang suka membaca dibanding dengan anak yang usianya beda 2 tahun atau lebih dari adiknya.

Di era modern ini, banyak cara untuk mengatur jarak kelahiran. Cara paling sederhana dan murah yang sering dianjurkan adalah pemberian ASI eksklusif. ASI eksklusif memiliki efek kontraseptif karena saat menyusui, hormon prolaktin yang merangsang produksi ASI juga akan mengurangi kadar hormon LH (Luteinizing Hormone) yang diperlukan untuk kelangsungan siklus haid. Kadar prolaktin yang tinggi menyebabkan ovarium menjadi kurang sensitif terhadap perangsangan gonadotropin yang memang sudah rendah sehingga memengaruhi fertilitas (kesuburan).

Mengatur jarak kelahiran juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode/alat kontrasepsi, yaitu cara yang mudah dalam merencanakan kehamilan. Kontrasepsi hadir dalam berbagai metode dan efektivitas. Secara umum dibagi menjadi dua, yaitu kontrasepsi sederhana dan kontrasepsi modern. Kontrasepsi sederhana, misalnya dengan menggunakan metode kalender dan  coitus eruptus/interuptus (melakukan penetrasi di luar vagina saat bersanggama). Sedangkan kontrasepsi modern umumnya membutuhkan intervensi dari tenaga medis (dokter atau bidan). Umpama, dengan penggunaan pil KB, susuk KB, pemasangan IUD pada organ intim, dan sebagainya. Apa pun pilihannya, tujuannya sama, yaitu membuat jarak kelahiran demi kesejahteraan seluruh keluarga. So? Jangan buru-buru “kejar setoran”, ya, Mam n Pap!