9 Bulan Yang Menentukan

By Ipoel , Minggu, 2 Juni 2013 | 23:00 WIB
9 Bulan Yang Menentukan (Ipoel )

Nasihat untuk mengupayakan kehamilan sehat bukanlah berita baru. Hanya saja, mungkin tak pernah terbayangkan oleh kita betapa masa 9 bulan di dalam rahim ibu merupakan masa yang paling berpengaruh terhadap kualitas fisik dan mental seorang anak. Bukti-bukti akan hal ini dibeberkan oleh majalah Time, edisi Oktober 2010 lalu. Dalam artikel panjang berjudul The Womb. Your Mother. Yourself,  Time menampik anggapan konvensional bahwa beberapa penyakit, seperti obesitas, penyakit jantung, serta diabetes melitus semata-mata hanya disebabkan keturunan ataupun gaya hidup dan pola makan.

Pada awalnya (ini yang dikatakan sebagai pendapat konvensional tadi) ada tudingan bahwa DNA-lah yang paling punya  andil semenjak proses konsepsi (pembuahan) dan membuat janin sudah sakit dari “sononya”. Namun nyatanya, 9 bulan masa gestasi (kehamilan) merupakan  periode yang menentukan dan terpenting dalam kehidupan manusia. Apa yang ibu makan dan minum semasa hamil, apakah ibu terus-menerus terpapar polusi, serta bagaimana ibu mengelola stresnya akan membekas secara permanen pada perkembangan otak dan fungsi-fungsi organ tubuh janin hingga seumur hidupnya.

Sebuah penelusuran terhadap 15.000 penderita penyakit jantung di wilayah miskin di England dan Wales telah dilakukan oleh David Barker. Profesor dari University of Southampton, England dan Oregon Health and Science University ini menemukan hubungan antara penyakit itu dengan riwayat berat badan lahir rendah. Selama ini penyakit jantung diyakini sebagai penyakit bawaan (didapat secara genetik) ataupun penyakit akibat gaya hidup enak. Namun, ia justru menemukannya pada populasi miskin yang melahirkan bayi-bayi dengan BB rendah akibat kekurangan nutrisi. Karenanya, ia percaya akan pengaruh kehidupan di dalam rahim terhadap munculnya penyakit jantung di usia dewasa. 

Sebaliknya, kelebihan nutrisi dan berat badan yang dialami ibu hamil pun akan memberikan pesan yang salah kepada janin. Studi yang dilakukan Harvard Medical School di Amerika, negara yang paling banyak memiliki warga obesitas, menghasilkan  dugaan: semakin tinggi kenaikan berat badan ibu di masa hamil, semakin besar risiko anak mengalami kelebihan berat badan sebelum usianya 3 tahun. Studi lanjutan dilakukan untuk memantau anak-anak yang dilahirkan dari ibu overweight di masa kehamilan. Dibandingkan anak-anak remaja yang lahir dari ibu dengan BB sedang, mereka yang lahir dari ibu dengan kelebihan BB di masa hamil menunjukkan kecenderungan untuk mengalami obesitas.

Dari mana kita tahu bahwa lingkungan sebelum lahir (prenatal) itulah yang mengakibatkan gangguan kelebihan BB ini? Penelitian lain rupanya membuat perbandingan antara anak-anak yang lahir di masa ketika ibu mereka mengalami obesitas dengan anak-anak yang dilahirkan setelah para ibu ini menjalani operasi antiobesitas. Anak-anak yang lahir belakangan tentu saja memiliki gen-gen yang sama dengan  kakaknya, mereka pun memiliki kebiasaan makan yang sama, tetapi mereka mengalami kondisi lingkungan rahim (intrauterin) yang tidak sama. Di situlah bedanya. “Tubuh anak-anak yang terbentuk dalam rahim para ibu  yang sudah mengalami penurunan berat badan memproses lemak dan karbohidrat dengan cara yang lebih sehat daripada tubuh saudara-saudara mereka yang terbentuk ketika ibu mereka masih kelebihan berat badan,” kata John Kral, profesor bedah dan obat-obatan dari SUNY Downstate Medical Center, New York yang menjadi  co-author  penulisan hasil penelitian tersebut di jurnal Pediatrics tahun 2006 dan 2009 seperti dikutip Time. 

Ya ternyata, nafsu makan dan metabolisme anak terbentuk di masa janin, yang pembentukannya dipengaruhi oleh kondisi ibu di saat hamil. Begitu juga intelegensi, temperamen, juga kerentanan anak pada penyakit seperti kanker, penyakit kardiovasukular, alergi, asma,  hipertensi, diabetes, obestitas, kesehatan mental, bahkan berbagai penyakit usia tua seperti arthritis, osteoporosis dan penurunan daya ingat. Tentu saja, segala hasil penelitian itu dengan kata lain berkata, “Kita dapat menghadirkan bayi-bayi (juga manusia-manusia) yang lebih sehat dengan cara melakukan hal-hal yang sehat di masa hamil, bahkan seharusnya sejak sebelum kehamilan terjadi.”

Langkah menggembirakan mulai dilakukan oleh masyarakat Indian Pima di Arizona yang memiliki angka rata-rata tertinggi di dunia sebagai masyarakat pengidap diabetes melitus tipe 2. Selama kehamilan, kadar gula yang tinggi pada ibu mengganggu proses perkembangan metabolisme pada janin, sehingga menimbulkan kecenderungan terhadap diabetes dan obesitas. Ada dua tipe diabetes: tipe 1 (DM1) dan tipe 2 (DM2). Pada DM 1, tubuh hanya sedikit atau bahkan tidak mampu memproduksi insulin lantaran sistem endrokin dan kekebalan tubuh yang memang tidak berfungsi baik. Inilah diabetes yang tidak dapat diganggu gugat sehingga ibu yang mengidap DM1 berpotensi besar menurunkannya pada anak. Sedangkan DM 2 diyakini muncul karena pengaruh gaya hidup. Padahal kenyataannya terjadi jauh sebelum itu. Kadar gula darah yang tinggi pada ibu, jika tidak terkontrol akan masuk ke dalam plasenta dan meninggikan kadar gula darah janin. Kondisi ini lantas membuat kelenjar pankreasnya dipaksa bekerja keras untuk memproduksi insulin dan mengurangi cadangan insulin yang ada. Kadar insulin yang lambat laun berkurang ini akan berdampak saat anak menginjak dewasa (umumnya sekitar usia 20-30) dan menjadikannya sebagai pengidap DM 2. Selain risiko diabetes, ibu hamil yang tidak menjaga gula darahnya dengan baik, juga meningkatkan risiko obesitas pada anaknya. Dengan ibu menjalani kehamilan sehat, penyakit-penyakit yang dulu dianggap sebagai keturunan ataupun akibat gaya hidup kurang gerak, ternyata bisa diintervensi.