Tiga Penyebab Anak Kurang Mandiri

By Ipoel , Jumat, 3 Juli 2015 | 04:50 WIB
Tiga Penyebab Anak Kurang Mandiri (Ipoel )

Tabloid-Nakita.com - Secara teoritis, istilah mandiri bermakna dua hal. Pertama, kebutuhan. Dari sisi tahapan perkembangan psikososial, seperti dipaparkan ahli perkembangan anak, Erik Erikson, di usia 2—3 tahun dalam diri anak mulai tumbuh kebutuhan untuk mandiri (self autonomy) dan kebutuhan ini makin meningkat di usia prasekolah. Kedua, perilaku. Anak berkeinginan menunjukkan pada orang lain bahwa ia mampu. Ya, kemandirian identik dengan kemampuan diri/individu, indikatornya seperti bisa makan sendiri (tidak disuapi lagi), pakai baju sendiri, dan sebagainya.

Jadi, seperti ditegaskan Alzena Masykouri, M.Psi., dari KANCIL, Jakarta, waktu yang tepat untuk mengajari anak mandiri adalah ketika usia 2—3 tahun dimana anak maunya melakukan ini-itu sendiri. Dengan demikian, ketika di usia prasekolah, anak makin terlatih mandiri. Namun, bukan berarti terlambat bila anak baru diajarkan mandiri di usia ini. Bagaimanapun tak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan yang lebih baik, bukan?

Lalu, apa penyebab anak kurang mandiri?

TIGA PENYEBAB 

Bila di usia prasekolah (3—5 tahun), anak masih kurang mandiri, biasanya disebabkan hal-hal berikut:

1. Kurang mendapat kesempatan

Orang-orang di lingkungan sekitar, termasuk orangtua, kakek/nenek, bahkan pekerja rumah tangga, kurang mengakomodasi atau memberi kesempatan pada anak untuk berlatih agar mandiri. Kalau anak tidak atau hanya sedikit diberi kesempatan, jangan harap  ia paham akan sesuatu yang harus ia lakukan untuk dirinya. Jadi, bila di usia dini anak tak mendapat kesempatan untuk mandiri, maka di usia selanjutnya ia pun tidak/kurang mandiri.

2. Dianggap “lama”

Orangtua sering tak sabar akan proses kemandirian yang berlangsung. Sebenarnya anak sudah bisa pakai baju sendiri, makan sendiri, pakai sepatu sendiri, tapi melakukannya lama. Nah, supaya cepat, akhirnya orangtua/si mbak-lah yang memakaikannya baju, yang menyuapinya makan biar cepat selesai, dan seterusnya. Jadi, dengan alasan “biar cepat” justru tanpa disadari orangtua “memandulkan” kemandirian anak.

3. Dilayani pengasuh/orangtua

Ada, lo, anak yang istilahnya 24 jam diurus oleh pengasuh karena orangtua seharian sibuk bekerja di luar rumah. Ketika waktunya makan, anak tinggal teriak, “Mbak!” Begitu pun untuk urusan lainnya. Akibatnya, selain anak tak terlatih mandiri, ia juga jadi tak merasa butuh untuk mandiri. Tentu kita tak bisa menyalahkan si pengasuh karena ia adalah perpanjangan tangan orangtua. Pengasuh berperilaku seperti itu karena yang memberikan tugas adalah orangtua.

Hal ini juga bisa terjadi pada full mom/ibu rumah tangga. Umumnya mereka beralasan, “Buat apa saya ada di rumah kalau tak mengurus anak?” Akhirnya, semua kebutuhan anak diladeni. Di sisi lain, ibu tak sabar, maka agar semuanya cepat beres dibantulah segala kebutuhan anak.

Sekalipun di sekolah diajarkan kemandirian sehingga anak bisa mengakomodasi dirinya sendiri, seperti ke toilet sendiri, buka-tutup tas/kotak bekal sendiri, dan sebagainya, akan tetapi berapa jam sih anak berada di sekolah? Paling lama sekitar 3 jam, selebihnya anak berada di rumah.

Selain itu, tak jarang begitu anak keluar dari halaman sekolah, orangtua/pengasuh langsung mengambil alih tas sekolah anak. Tiba di rumah, anak dibukakan sepatunya, disuapi makan, dimandikan, dipakaikan baju, dan seterusnya. Jadi, meski di sekolah yang cuma 3 jam itu anak diajarkan mandiri, namun bila selebihnya selalu dilayani, ya enggak heran kalau si anak jadi kurang mandiri.