Balita dan perselisihan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Di mana ada dua anak balita, di situ pula perselisihan mungkin terjadi. Persoalannya sepele, biasanya berkaitan dengan tata krama meminjam, bergiliran, dan kontak fisik. Namun, perselisihan kadang menimbulkan korban menangis.
Masalahnya, bagaimana bila si kecil selalu menjadi korban? Diam saja saat ada anak lain menyerobot antreannya, jelas sangat merugikan. Memaki dan memukul anak yang tak tahu aturan, juga tidak dibenarkan. Karenanya, penting bagi orangtua untuk mengajarkan sikap asertif kepada anak.
Asertivitas merupakan kemampuan anak untuk mengemukakan pendapat, saran, dan keinginan yang dimilikinya secara langsung, jujur, dan terbuka tanpa menyakiti atau merugikan anak lain. Jadi, anak yang memiliki sikap asertif adalah anak yang memiliki keberanian untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan hak-hak pribadinya tanpa melanggar hak orang lain. Dengan sikap asertif, anak dapat merasa nyaman dan aman bergaul dan berteman.
Ada banyak ciri anak yang memiliki sikap asertif (lihat boks). Untuk mengetahui, apakah buah hati Anda memiliki sikap asertif atau tidak, lihatlah apakah anak memiliki sikap pengalah namun didukung rasa penuh percaya diri, mampu memilah kapan perlu mengalah dan kapan perlu mempertahankan diri. Jika karakteristik ini ada, maka dia tergolong anak yang matang, tak seperti anak seusianya yang masih kental sikap egoisnya. Berarti, ia sudah memiliki sikap asertif.
Sebaliknya, bila anak terlihat kurang percaya diri, sehingga selalu mengalah pada teman, maka orangtua perlu memupuk sikap asertifnya agar tak diam saja ketika ia berbeda pendapat, tidak setuju, atau hak-haknya dilanggar orang.
Dewi Romadhona, Psi., dari Bina Potensi Anak Indonesia, memberikan sejumlah cara mengembangkan sikap asertif pada anak:
1. AJAK BERMAIN PERAN
Lakukan bersama teman sekolah ataupun rumah. Dengan bermain peran diharapkan anak dapat mencontoh/meniru perilaku asertif yang diperankan temannya. Perilaku mencontoh ini merupakan cara belajar paling efektif untuk usia prasekolah.
Agar bermain peran ini efektif, terkadang dibutuhkan bantuan orangtua/guru untuk menentukan tema serta pembagian peran. Bila perlu, arahkan alur ceritanya agar sesuai dengan tujuan utama, yakni mengembangkan perilaku asertif. Contohnya, cerita tentang proses perdagangan di sebuah pusat perbelanjaan. Ada yang menjual pakaian, peralatan rumah tangga, dan makanan. Sedangkan yang lainnya berperan sebagai pembeli. Nah, ketika menjajakan barang, ada pedagang yang menawarkan secara paksa. Menghadapi tipe penjual inilah dibutuhkan sikap asertif dari pembeli. Harus ada keberanian dari pembeli untuk mengemukakan pendapatnya, juga menolak barang itu bila memang belum membutuhkan. Tentu penolakannya dilakukan dengan sopan, “Maaf, saya belum membutuhkan barang seperti ini. Mungkin lain kali bila membutuhkan saya akan datang ke toko ini lagi.”
Sebaiknya orangtua mendampingi dan memberikan penegasan-penegasan pada hal-hal yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sikap asertif; kapan dia harus menerima, mengalah, dan mempertahankan diri. Ini karena kemampuan anak prasekolah masih dalam tahap perkembangan kognitif praoperasional yang sentrasi, sehingga anak hanya fokus pada satu aspek situasi dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.
2. BERI PERHATIAN DAN KASIH SAYANG
Orangtua sebaiknya menerapkan pola asuh penuh kasih sayang dan perhatian. Pola asuh ini akan menumbuhkan rasa nyaman dan kepercayaan diri anak. Rasa percaya diri akan menjadi modal bagi anak untuk memasuki lingkungan di luar rumahnya. Anak yang percaya diri tentu akan lebih terbuka dan mudah bersikap asertif.
3. ASAH KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI
Kemampuan berkomunikasi yang baik akan memudahkan anak menyampaikan keinginannya. Demikian pula ketika ia harus mempertahankan haknya. Biasakan anak mengemukakan pendapat, menyatakan keinginan, dan mengekspresikan emosi yang dirasakan.
Untuk melatih berkomunikasi, minta anak menceritakan kegiatannya di hari itu sehingga orangtua dapat memberikan arahan sikap atau perilaku yang sebaiknya dilakukan. Contoh, hari itu ketika sedang istirahat makan bersama di sekolah, bekal milik anak direbut oleh temannya. Nah, orangtua dapat langsung melakukan koreksi, bagaimana sikap yang sebaiknya ditunjukkan. Beri tahukan juga cara melakukan penolakan dengan halus, “Sampaikan saja bahwa Adek tidak suka dengan cara seperti itu. Kalau mau minta harus bilang baik-baik dong.” Hal lain yang perlu diingat, hindari pola asuh otoriter yang akan membuat anak takut mengemukakan pendapat.
4. TANAMKAN KEMANDIRIAN
Anak yang mandiri akan mampu mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Artinya, ia mampu menolong dirinya sendiri ketika melakukan aktivitas pribadinya, tidak harus bergantung pada pertolongan atau bantuan orang lain. Anak yang diberikan kesempatan untuk melakukan segala sesuatunya sendiri, terutama aktivitas yang berkaitan dengan diri sendiri umumnya akan tumbuh menjadi pribadi mandiri.
Jadi, jangan mudah memberikan bantuan hanya karena kasihan atau bosan menunggu terlalu lama. Sikap orangtua yang serbamelayani, menganggap anak tidak tahu apa-apa, dan selalu memenuhi keinginan anak, dapat menghambat kemandiriannya. Dampak lebih lanjut, anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri tetapi bossy. Ujung-ujungnya sikap asertifnya pun tak berkembang karena tidak yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
5. LIBATKAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Kesempatan untuk melibatkan anak mengambil keputusan sebenarnya selalu ada. Mulailah dengan hal-hal sederhana, seperti mau makan dengan telur atau ikan? Mau pakai baju apa? Mainan seperti apa yang diinginkannya? Mengapa anak suka yang warna merah bukan biru? dan seterusnya. Berikan kesempatan kepada anak untuk mengemukan pendapatnya. Jika anak tidak menyukai pilihan orangtuanya, maka hargailah. Dari situ anak belajar, bahwa sah saja mempunyai pendapat berbeda atau pilihan sendiri sesuai selera.
6. MENGHARGAI KEPENTINGAN DIRI SENDIRI
Tekankan perlunya menghargai kepentingan diri sendiri selain kepentingan orang lain. Ketika harus berbagi, tentu tidak semua miliknya harus dibagikan kepada orang lain. Namun, ajarkan cara menyampaikan kepentingan diri sendiri ini agar tidak menyakitkan orang lain dan sampaikan alasannya.
Penting diingat, penerapan keenam cara di atas, memerlukan dukungan dan kerja sama dari orang-orang terdekat. Orangtua, pengasuh, atau kerabat yang tinggal serumah dan guru di sekolah harus bahu-membahu. Agar pola asuh ini dapat diterapkan secara konsisten, pun perlu diterapkan aturan yang sama, baik di rumah maupun sekolah.