Jika dibandingkan dengan penyakit lain, seperti kanker, kelainan jantung, TB, maka kecacingan bukan merupakan penyakit yang mematikan. Akan tetapi, kecacingan sangat merugikan anak karena cacing yang ada di dalam tubuh, terutama usus, mampu menyerap sebagian besar zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Akibatnya, anak mengalami gizi buruk dan anemia meski asupan gizi seimbangnya baik. Anemia karena kecacingan terjadi akibat cacing yang mengisap darah, anak jadi tak bergairah, yang ujungnya menurunkan kecerdasan anak karena ia tak semangat belajar. Bahkan, kecacingan juga bisa menyebabkan perdarahan di anus.
Ada beragam jenis cacing yang dapat menginfeksi kedalam tubuh, seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), serta cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Cacing-cacing ini bisa berpindah ke orang lain lewat feses yang mengandung telur cacing jatuh ke tanah, menetas, lalu cacing kecil itu diinjak atau disentuh dan masuk lewat pori-pori kaki atau suapan makanan oleh tangan yang kotor. Umumnya, kasus kecacingan banyak terjadi di daerah yang budaya hidup sehatnya kurang, terutama dalam hal mencuci tangan, atau pada anak yang sering bermain tanpa alas kaki, atau bermain tanah.
Survei yang dilakukan di 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi kecacingan masih cukup tinggi, berkisar 2,2—96,3%. Padahal, kecacingan sebetulnya dapat dicegah, yaitu dengan tidak BAB sembarangan, menghindari bersentuhan dengan tanah yang diduga mengandung benih cacing, mencuci tangan dengan sabun setiap kali beraktivitas dan ketika mau makan, serta menjaga kebersihan lingkungan dengan baik. Kecacingan dapat mengganggu pertumbuhan generasi penerus, sehingga penanganan kecacingan harus konsisten dan berkesinambungan.