Mengapa anak prasekolah tergolong rentan dari tindak kejahatan orang dewasa? Bila dilihat secara kognitif, di usia prasekolah pemahaman atau kesadaran akan bahaya belum berkembang baik. Apalagi bila selama ini, anak prasekolah tumbuh di rumah/lingkungan yang tidak terbiasa mengembangkan aturan-aturan kedisiplinan tentang kebersihan diri, tata-tertib di rumah seperti pamit kalau keluar rumah, menghargai kepemilikan, dan sebagainya. Hal ini diperburuk dengan contoh-contoh perlakuan kasar yang mungkin tidak disadari oleh si prasekolah. Misalnya, konflik ayah-ibu yang menyelipkan perlakuan kasar diasumsikan oleh si prasekolah sebagai perilaku yang benar atau suatu bentuk perhatian orangtua kepada pasangannya. Bisa jadi, ketika ada orang lain memperlakukan si anak dengan kasar, ia tak protes dan menganggapnya biasa.
Contoh berikut, anak terbiasa dengan pengasuhan orangtua yang penuh bujukan, iming-iming, atau limpahan pemberian sebagai bentuk perhatian. Sedikit-sedikit kalau anak susah makan, ibu mengiminginya dengan mainan baru. Bisa diduga kalau si prasekolah menganggap bujukan dan rayuan adalah perilaku baik dan benar dari orang dewasa di sekitarnya. Gawatnya, hal ini malah menyebabkan anak tidak bisa membedakan mana sikap-sikap orang dewasa yang tulus beratensi baik atau ternyata memanipulasi anak secara halus dan lembut. Anak tak sadar bahwa sesungguhnya ia masuk perangkap orang yang bermaksud tak baik.
Contoh lain adalah pengasuhan yang tak memedulikan anak (neglected). Si anak terbiasa diasuh oleh siapa saja secara berganti-ganti. Atau si prasekolah seolah tak diurus dan tak dipedulikan mau main ke mana, main dengan siapa, waktunya tidak dibatasi, dan tidak pernah ditanya apa kegiatannya. Pola asuh seperti ini membuat anak menjadi pribadi yang sangat terbuka pada siapa pun dan mudah mengekor, ikut siapa pun yang mengajaknya. Misalnya, anak seharian bermain di luar rumah dan merasa lapar. Ketika ada orang mengajaknya pergi mencari makanan ke suatu tempat, si prasekolah mau saja ikut. Si prasekolah tak menyadari kemungkinan bahaya yang mengintai dirinya.
Asal tahu saja, kewaspadaan pada bahaya sejatinya dibentuk di rumah. Kelekatan serta interaksi yang kuat dengan orangtua dapat membentuk anak prasekolah yang tanggap akan adanya bahaya. Ini karena kelekatan dengan orangtua membuat anak tidak mudah terbujuk rayuan dan ajakan orang yang tidak dikenal. Kewaspadaan anak prasekolah terhadap hal-hal yang manipulatif harus diasah disertai kiat menjaga diri.
Cara yang paling jitu yaitu dengan melakukan komunikasi terus-menerus untuk memberi pemahaman kepada anak. Saat berkomunikasi usahakan selalu menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami anak. Namun dalam berkomunikasi, hindari kalimat-kalimat bernada larangan dan menakut-nakuti, atau bernada terlalu protektif karena hal ini dapat memegaruhi perkembangan anak. Anak bisa menjadi pribadi yang tidak mampu mengembangkan kompetensi bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Banyak melarang juga dapat menjadikan anak merasa tidak aman serta selalu curiga dalam memandang apa pun. Ia sulit berpikir positif.
Selain komunikasi, orangtua juga harus menerapkan aturan-aturan yang jelas dan konsisten sehingga anak tahu apa kewajibannya dan apa yang diharapkan orangtuanya. Seperti tadi, kalau mau main keluar rumah harus ada kakak yang sudah besar atau orang dewasa yang menemani, memberikan batasan siapa saja yang boleh berbicara atau mengajak, bagaimana cara menolak pemberian atau sentuhan orang lain, dan sebagainya yang intinya memberikan kepada si prasekolah pemahaman tentang pentingnya menjaga keselamatan diri. Selain lewat contoh-contoh konkret, pemahaman bisa diberikan lewat dongeng menggunakan peraga berupa boneka.