1. Penghukum
Orangtua dengan gaya pengasuhan seperti ini tidak memiliki peraturan jelas, sehingga motivasi anak melakukan sesuatu atau tidak didasarkan oleh rasa takut kepada orangtuanya. Sebagai penghukum, orangtua cenderung melakukan kontrol negatif, ribut saat anak bermasalah dan tidak bereaksi apa-apa saat anak berbuat positif. Jika mendapatkan masalah dengan anaknya ia akan berteriak, mengancam, marah-marah dan mengkritik dengan kata-kata tajam, menghina, bahkan yang paling parah adalah memberikan hukuman fisik. Umumnya yang dikatakan oleh orangtua tipe ini adalah, “Kerjakan ini, awas kalau tidak!” Tentu saja kalimat itu dilontarkan dengan suara keras dan sikap yang mengancam. Tak ada pilihan, anak akan mengangguk dan menuruti kata-kata orangtua. Sepintas, tipe ini efektif mengoreksi kesalahan anak atau membuat anak patuh. Padahal, tipe ini justru berpotensi melahirkan keinginan memberontak pada diri anak. Ia juga terdorong untuk mudah menyalahkan orang lain dan kerap berbohong untuk menghindari hukuman.
2. Pembuat Rasa Bersalah
Orangtua tipe ini selalu menimpakan kesalahan pada anaknya, sehingga membuat anak merasa bersalah. Meski penyampaian kata-katanya lembut, tapi isinya tajam dan menyindir. Kata-kata yang dilontarkan umumnya berupa sindiran-sindiran yang menunjukkan ketidaksetujuan pada perbuatan anaknya. Terkadang malah memberikan kesan lemah, sakit, dan lain sebagainya yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, kasihan, dan rasa bersalah pada diri anak. Akibatnya, orangtua tipe ini akan menghasilkan anak yang senang menyembunyikan sesuatu alias tidak berterus terang, menyangkal, dan kerap berbohong. Dampaknya, anak akan merasa rendah diri. Contohnya, “Nak, apakah kamu tidak kasihan dengan Mama...Mama, kan, sudah membayar kursus menari itu, sementara kamu sering absen dan malas-malasan.”
3. Teman
Tipe ini membuat anak merasa nyaman ketika berinteraksi dengan orangtuanya. Biasanya, orangtua macam ini banyak tersenyum, sikapnya bersahabat, banyak bercanda, dan banyak membantu anak. Langkah-langkah yang dilakukan orangtua untuk meminta anaknya melakukan sesuatu pun, umumnya dilakukan dalam suasana menyenangkan. Sikap seperti ini tentulah sangat disenangi anak-anak. Hubungan orangtua dan anak pun cukup terjalin erat. Sayangnya, dalam jangka panjang posisi kontrol ini dapat menimbulkan ketergantungan anak pada orang dewasa. Orangtua tipe ini umumnya juga tidak mempunyai harapan atau aturan yang jelas, sehingga anak-anaknya pun sulit memiliki rasa tanggung jawab, selain kerap mengandalkan orangtuanya.
Tipe ini tidak buruk sama sekali, tetapi memiliki keterbatasan karena tidak membangun sikap mandiri pada anak. Selain juga dapat membuat anak bersikap lemah, tidak punya arah atau batasan yang akan diambil dalam jangka panjang. Dapat dibayangkan bila anak berhadapan dengan sosok yang tegas atau tidak seramah orangtuanya, atau sebuah lingkungan yang punya aturan ketat, maka kedisiplinannya akan tampak kedodoran.
4. Pemantau Atau Monitor
Tipe orangtua yang seperti ini akan menghadapkan anak pada berbagai peraturan yang jika dipatuhi akan menghasilkan hadiah dan jika dilanggar akan berbuah hukuman. Selain itu, anak juga disodorkan pada konsekuensi positif dan negatifnya. Orangtua tipe ini mengasuh anak dengan memberikan penegasan bahwa masyarakat memiliki aturan dan batasan-batasan berikut konsekuensinya. Ketika anak melakukan kesalahan, orangtua akan berkata, “Ini kesalahanmu dan konsekuensinya kamu harus melakukan ini.” Sebaliknya ketika anak melakukan perbuatan positif, orangtua akan memberikan penghargaan, baik pujian ataupun materi. Orangtua tipe ini misalnya akan berkata, “Sabtu depan jika kalian bersikap baik selama 1 pekan ini, maka kalian akan mendapatkan kesempatan bermain di arena bermain.”
Gaya atau tipe ini sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan tiga tipe kontrol sebelumnya (penghukum, pembuat rasa bersalah, dan teman). Apalagi jika orangtua bisa konsisten menerapkan peraturan dan disiplin. Namun bagi anak, kondisi seperti ini bisa jadi akan membosankan. Ada saatnya anak akan mencari cara untuk lepas dari peraturan. Selain juga bukan tidak mungkin anak berbuat baik karena ingin mendengar pujian untuk dirinya ataupun mendapatkan imbalan.
5. Manajer
Orangtua tipe ini sabar melakukan dialog untuk mengomunikasikan nilai-nilai positif pada anak. Anak-anak akan diajak berdiskusi bagaimana membentuk sebuah ikatan keluarga yang harmonis dengan seluruh anggota keluarga. Setiap anak sebagai anggota keluarga akan mendapatkan gambaran tentang nilai, kepercayaan, dan landasan hidup. Seluruh anggota keluarga memahami dan mengetahui posisinya serta mengetahui bagaimana harus bersikap dan menyikapi sesuatu. Istilahnya, orangtua adalah manajer yang membuat kontrak sosial dengan seluruh anggota keluarga. Kontrak ini mengikat seluruh anggota keluarga. Setelah semuanya paham dan jelas, jika terjadi masalah atau harus memecahkan persoalan, maka yang dilakukan adalah dialog. Contoh, “Menurut kamu, bagaimana caranya supaya kesalahan ini tidak terjadi lagi?” Meski tetap memberlakukan aturan dan sistem reward (penghargaan) serta punishment (berupa konsekuensi), orangtua lebih menekankan upaya memperkuat kepribadian anak. Jika sebuah kesalahan terjadi, maka fokusnya adalah perbaikan. Kesalahan itu sudah terjadi dan tidak perlu diperpanjang. Yang menjadi tujuan adalah bagaimana cara memperbaiki kesalahan dan bagaimana peristiwa ini bisa memperkuat pribadi si anak. Dengan begitu, anak akan sadar sendiri, perilakunya yang mana yang salah dan bagaimana memperbaikinya.