Happy Child: Kunci dari Keberhasilan Pendidikan

By Ipoel , Selasa, 2 Mei 2017 | 04:00 WIB
Happy Child (Ipoel )

Nakita.Id - Bahagia adalah kondisi seimbang dalam tataran perasaan (emosi) maupun intelektualitas (kognisi). Sebagai hasilnya, muncullah perasaan tenteram. Definisi ini juga berlaku bagi anak-anak. Kondisi yang seimbang memudahkannya melakukan aktivitas dengan maksimal dan menyerap stimulasi dengan optimal. Karenanya, kondisi bahagia harus diciptakan agar anak secara alami dapat  mengembangkan potensi sebaik-baiknya dalam proses pendidikan. 

Baca juga: Inilah 8 Jenis Kepintaran Anak

Kebahagiaan anak tercapai bila ia mampu mewujudkan dirinya (self actualization), bukan sekadar dipuji dan diberi selamat karena telah menjadi juara. Perasaan puas karena menjadi juara (harga diri tinggi) berbeda dari perasaan puas karena bahagia setelah berhasil menunjukkan potensi diri seoptimal mungkin terlepas dari apakah ia juara ataupun tidak. Hal ini menunjukkan, orangtua dan guru perlu mengenali, memahami, menerima potensi-potensi anak, dan berupaya mengembangkannnya.

Lalu, bagaimana caranya? Ketika masih bayi, anak digendong-gendong. Di usia batita awal ia ditatih untuk belajar berjalan. Ketika ia mulai berjalan kita mendampinginya. Ketika ia pandai berjalan kita mengawasinya, dan ketika ia telah pandai berlari, kita cukup membekalinya dengan harapan agar berhati-hati.

Baca juga tentang pendidikan, teknologi, keuangan, informasi, dan sebagainya di website Nawasiana.

Artinya, mengenali dan memahami tidak berarti menuruti seluruh keinginan anak agar ia bahagia. Interaksi dan pemberian pengalaman dalam kehidupan sehari-hari selama bertahun-tahun tentu telah memberi infomasi lengkap, siapa anak kita. Namun, memang tidak semua orangtua memiliki kepekaan dalam mengenali siapa anaknya sendiri, maka kita dapat meminta pertolongan psikolog untuk mendeteksi berbagai potensi anak.

Baca juga: Bentengi Anak Dari Pelecehan Seksual

Konsep kebahagiaan anak terkadang berbeda dari kebahagiaan orangtua. Contohnya saja, orangtua menilai pemberian benda atau materi dapat membuat anak bahagia. Tapi bagi anak belum tentu. Sekalipun senang, mungkin dalam hati kecilnya ia menginginkan hal lain, “Aku ingin Bunda yang yang menemani aku bermain.” Mungkin karena itulah, sering kali kita temui anak-anak melakukan aksi atau hal-hal dengan maksud menarik perhatian orangtuanya, tapi dinilai negatif oleh mereka. Berkelahi, ribut dengan adik/kakak di rumah, menjadi biang kerok di sekolah, adalah beberapa contoh aksi cari perhatian tersebut.

Untuk menyelami masalah ini, Edward Hallowell, seorang psikiater, menuturkan, “Indikator terbaik kebahagiaan adalah di dalam, bukan di luar.” Mungkin dilihat sekilas anak tampak ceria tetapi situasi emosionalnya tak terbina dengan baik, sehingga menurut Hallowell, anak yang terlalu dimanja, kelak akan menjadi remaja pembosan, sinis, dan sering murung alias tidak ceria. Lagi pula, anak-anak sebetulnya lebih senang diberi kebebasan untuk belajar dan bereksplorasi dibandingkan hanya dipenuhi semua kebutuhan dan keinginannya.

Baca juga: Manja, Penyebab Anak Terlambat Berjalan

Jelas, membuat anak bahagia tidak selalu harus dengan memanjakannya, memberikan banyak fasilitas, melindungi setiap saat, atau melayaninya dalam beraktivitas. Nah, orangtualah yang harus dapat memformulasikan pemberian kasih sayangnya agar membahagiakan sekaligus mendidik anak.

Bredekamp (1987) menyatakan, pendidikan berlangsung melalui interaksi anak dengan orang dewasa, dengan sebaya, dan dengan latihan-latihan. Sementara Piaget (dalam Fisher, 1990) menyatakan, dimensi tertinggi pendidikan adalah bagaimana mendorong anak berpikir kritis dan kreatif.  Dimensi pendidikan tertinggi akan tercapai tentu melalui pemberian pengalaman yang tertinggi pula (peak experiences), di sinilah peran orangtua dan guru dalam mendorong anak mencapai kebahagiaan.