Meski baik untuk mengasah kecakapan berbicaranya, orangtua berhak untuk tidak terus-menerus menjawab pertanyaan anak. Sebab, dalam kondisi tertentu orangtua tentu tidak dapat meladeni pertanyaan anak. Di sini orangtua perlu mengajarkan, anak pun harus tahu saat yang tidak tepat untuk berceloteh. Misalnya ketika ayah atau ibu sedang ada tamu, maka anak harus tahu, pada saat itu orangtua tidak dapat melayani celotehannya.
Memang menerapkan hal itu tidak mudah karena kemampuan berpikir anak belum sampai sejauh itu. Kecuali pada anak-anak usia prasekolah akhir. Meski begitu, kita tetap harus berusaha tanpa harus memarahinya. Caranya, pertama cobalah pahami kebutuhan anak dengan respons positif seperti, "Wah, seru banget ya cerita Adek...." Kemudian yang kedua, lanjutkan dengan ajakan agar anak bisa mengendalikan keinginan bicaranya, "Tapi sekarang Bunda sedang ada tamu. Setelah Bunda selesai bicara dengan tamu, kita bahas lagi ya nanti."
Begitu pun bila anak tak putus-putus bertanya atau bercerita. Boleh kok kita hentikan. Hanya saja, lakukan dengan cara baik-baik, "Wah, cerita Adek banyak sekali. Tapi karena ayah harus mengganti ban mobil, ceritanya kita sambung lagi, ya." Atau,"Wah, pertanyaannya banyak juga ya. Bagaimana kalau disimpan untuk sore nanti?" Boleh juga dicoba, "Sudah dulu ya bicaranya. Sekarang coba tarik napas dan mulutnya, istirahat. Kalau Adek masih mau cerita, coba lewat gambar." Cara seperti ini, selain membuat anak jadi tenang, juga menawarkan cara lain untuk bercerita.
Hindari menyuruh anak diam dengan kasar, memarahi, atau mengabaikannya, karena semua itu hanya akan membuat semangatnya untuk berbicara turun. Anak akan berpikir, "Ah, males kalau cerita sama Bunda, aku disuruh diam," atau, "Ah, ngapain tanya-tanya, nanti malah diomelin." Semakin lama bukan tidak mungkin anak akan semakin menghindar, sehingga kelak dia memilih bersikap tertutup pada orangtua.
Perlu diingat juga, sebisa mungkin, hindari penggunaan kata larangan seperti, "jangan","tidak boleh", dan sejenis itu. Semakin sering kata-kata tersebut diucapkan, anak bukannya menghentikan apa yang dilarang, tetapi justru terdorong melakukannya. Selain itu, tak perlu bereaksi berlebihan bila apa yang diungkapkan anak terkesan mengada-ada, alias berfantasi. “Ma, tadi Dodi pakai baju Superman, terus dia bisa terbang. Beneran lo, Ma!” Sebab, adakalanya anak bercerita suatu kehebohan hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang yang mendengarnya.
Jika menemukan hal ini, cukup berikan simpati pada ceritanya, ”Oh, ya? Ada yang seukuran Bunda enggak, bajunya? Tapi coba deh Adek ingat-ingat lagi, waktu itu Adek pernah loncat dari kursi ke jendela dan jatuh, padahal kamu sedang memakai kostum Spiderman. Berarti benar enggak ya, baju Superman bikin Dodi bisa terbang?” Jawaban itu tentu akan memancing kemampuan berpikir anak.
Bila saat ditanya anak menjawab dengan jawaban yang tidak nyambung, seperti ”Tadi kamu sarapan apa?”, si kecil menjawab, ”Aku dong suka sarapan. Nanti siang juga makan lagi.” Atau, “Adek tadi main di mana?” dia malah menjawab, “Eh, si Andi kan punya mobil baru.” Berarti anak tidak merespons sesuai yang diharapkan, perhatiannya mudah teralih, dan lompat ke topik lain. Anak-anak seperti ini barangkali mengalami masalah konsentrasi. Mereka tak bisa memusatkan perhatian pada orang lain dengan baik, cenderung impulsif, apa yang terlintas di benaknya langsung diungkapkan. Dia juga cenderung sibuk dengan dirinya sendiri, tak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Bila seperti itu, sebaiknya bantu anak untuk fokus pada konteks pembicaraan semula. Jika disertai dengan gangguan perilaku seperti anak tak bisa ikut aturan dan sangat mengganggu, maka orangtua perlu mendatangi ahli yang berkompeten di bidang gangguan perilaku.