Setiap anak itu unik, begitu juga di setiap tahapan usia, ada keunikan yang membedakannya dari tahapan usia sebelum dan setelahnya. Nah, tahapan usia 3-5 tahun atau yang dikenal dengan tahapan usia prasekolah, menurut Elizabeth B. Hurlock adalah tahapan keemasan (the golden age). Di usia ini anak mengalami banyak perubahan fisik dan mental, dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Berkembangnya konsep diri. Secara perlahan pemahamannya tentang kehidupan berkembang. Saat ini anak mulai menyadari akan diri dan identitasnya. Karena itulah dia ingin keberadaannya diakui, ingin mencoba segalanya, merasa dirinya bisa melakukan apa saja, namun di sisi lain masih ingin disayang-sayang dan didukung oleh orangtuanya.
Perkembangan konsep diri berawal dari pengenalan identitas pribadi, yaitu nama, jenis kelamin, dan usia. Di sini anak bisa menerima dirinya dan memahami bahwa ia memiliki kemampuan untuk dapat melakukan banyak hal jika ia merasa diterima dan dipahami oleh lingkungan. Sebab itulah, peran orangtua sangat besar, terutama dalam menyediakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat mengembangkan konsep diri yang positif.
Hambatan yang paling sering terjadi adalah tuntutan dari orangtua yang terlalu tinggi atas kemampuan anak, atau tidak adanya kesempatan bagi anak untuk dapat menampilkan diri apa adanya. Lingkungan juga biasanya memberikan cap-cap negatif atau komentar yang sebenarnya bisa menjatuhkan harga diri anak, dan tentu saja memengaruhi perkembangan konsep diri anak.
2. Egosentris. Anak berpikir bahwa segala yang ada dan tersedia adalah untuk dirinya, semuanya ada untuk memenuhi kebutuhannya. Kuatnya egosentrisme memengaruhi perilaku anak dalam bermain. Ia enggan untuk meminjamkan mainanannya kepada teman, juga menolak mengembalikan mainan yang dipinjamnya dari teman. Akibatnya sering muncul konflik saat anak prasekolah bermain bersama. Uniknya di sini, pada saat mengalami konflik anak belum bisa menyelesaikannya secara efektif, ia cenderung menghindar dan menyalahkan orang lain, atau bahkan melawan.
Sikap egosentris sebetulnya berkaitan erat dengan perkembangan kemampuan kognisi anak. Pada usia ini, anak memang belum mampu melihat beberapa perspektif dalam menyelesaikan persoalan. Mereka hanya bisa memahami dari sisi dirinya sendiri. Tapi harus diingat, egosentrisme ini adalah salah satu tanda perkembangan. Jadi, pada setiap anak kemampuan ini harus muncul.
Sikap orang-orang yang berada di lingkungan berperan sangat penting untuk bisa memainkan dua peran. Pertama, memahami bahwa perilaku egosentris merupakan tanda perkembangannya. Kedua, melatih anak untuk dapat memahami sudut pandang yang lain dengan memberikan contoh nyata. Misalnya, ketika anak mendesak untuk minta dibuatkan susu sekarang juga, sementara orangtua sedang sibuk melakukan sesuatu yang tidak dapat ditunda, berikan pengertian pada anak bahwa ia dapat menunggu sampai ayah atau ibu selesai. Tak cukup hanya mengatakan, “Sebentar.”
3. Rasa ingin tahu yang tinggi. Meliputi berbagai hal, antara lain organ seksual yang mendorongnya untuk mengeksplorasi tubuh sendiri. Orangtua harus mendampingi anak agar ketika melakukan eksplorasi apa pun ia dan lingkungan tetap terjamin dari sisi keamanan dan keselamatan. Orangtua tidak perlu melarang atau kaget berlebihan (di depan anak) bila anak bertanya mengenai sesuatu yang dianggap tabu atau tidak biasa. Biasakan bersikap ilmiah dengan menjawab sebenar-benarnya sesuai pemahaman anak. Contoh, anak usia prasekolah bertanya, “Kok Ayah tidak seperti Bunda pipisnya?” kita bisa menjawab, “Karena Ayah laki-laki yang mempunyai penis sebagai alat untuk pipis. Sedangkan Bunda tidak punya.”
4. Imajinasi yang tinggi. Imajinasi di usia ini sangat mendominasi setiap perilaku anak, sehingga ia sulit membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Bahkan, kadang-kadang ia suka melebih-lebihkan ceritanya. Daya imajinasi inilah yang melahirkan teman imajiner atau khayalan (teman yang tidak pernah ada).
Sebenarnya kita tidak perlu risau mengenai hal ini. Karena tidak ada imajinasi yang memberikan efek negatif. Teman imajinasi tidak membahayakan, justru biasanya anak-anak yang memiliki teman imajinasi memiliki kemampuan verbal yang relatif lebih tinggi dibandingkan anak sebayanya. Respons lingkungan akan sangat membantu anak untuk mengembangkan imajinasi positif. Namun, nalarnya masih belum dapat membedakan antara imajinasi dan kenyataan.