Duh, anak TK kok sudah dibebani PR. Bener enggak sih ini sekolahnya? Idealnya, PR yang diberikan untuk si prasekolah dikemas dalam bentuk permainan atau pengamatan, bukan PR calistung dalam bentuk tertulis di buku. PR yang disebut belakangan, boleh jadi akan membuat anak merasa bosan dan malas mengerjakan.
Sesungguhnya, ilmu pengetahuan pun dapat ditransfer dalam bentuk aktivitas atau kegiatan apa saja yang menarik. Jadi, sah-sah saja bila PR yang harus dikerjakan di rumah adalah aktivitas sehari-hari yang mampu menumbuhkan kreativitas. Contoh, kegiatan membuat kue cucur. Melalui aktivitas ini, logika matematika pada anak dapat terasah. Ketika menimbang jumlah tepung yang akan digunakan, anak dapat berlatih menimbang sekaligus mengenal bilangan, mengurutkan bilangan, dan membilang, sehingga si anak tanpa sadar telah mempelajari matematika dengan cara sederhana dan menyenangkan. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa rambu-rambu PR yang sebaiknya dicermati:
* Bermanfaat untuk kehidupan
Pilihkan kegiatan yang bermanfaat. Misal, PR mengamati aktivitas ayam. Melalui aktivitas tersebut anak dapat mengetahui bagaimana cara ayam memakan makanan. Apa saja yang dipilih untuk dimakannya? Aktivitas itu sepertinya sederhana sekali. Tapi, melalui aktivitas itu, anak dapat mengetahui bahwa bentuk mulut ayam runcing, ada paruhnya dan tidak punya gigi. Ayam makan biji-bijian dengan cara dipatuk-patuk. Anak juga belajar matematika dengan menghitung jumlah ayam yang sedang makan. Lewat cara itu, tidak hanya logika matematika yang dikembangkan tapi juga kemampuan sainsnya.
* Mengutamakan kreativitas
Intelektual dahulu, kreativitas kemudian. Itulah mungkin prinsip orangtua saat ini. Padahal, yang benar adalah kembangkan kreativitas terlebih dahulu, selanjutnya baru kemampuan intelektual. Ketahuilah, cara kerja otak seperti arah jarum jam. Ketika kreativitas anak terasah, maka logika anak pun akan berkembang, sehingga kemampuan intelektualnya akan terasah. Misal, mengembangkan jiwa wirausaha dalam diri anak. Ini dapat dikenalkan dengan bermain peran. Minta anak menjadi produsen sebuah barang dan wajib menjual produknya ke ibu, bapak, atau saudaranya. Nah, dalam proses penjualan ini, anak akan mengembangkan kreativitasnya. Salah satunya, bagaimana mengemas barang itu supaya menarik. Anak juga belajar mengenal alat tukar berupa uang, cara menjual agar menarik minat pembeli, dan lain-lain. Berbagai usaha yang dilakukan untuk mengembangkan kreativitas ini akan tersimpan dengan baik dalam memori anak. Berbeda dengan menghafal, umumnya anak akan mudah melupakan materi yang dihafalkan karena tidak terekam dengan baik di memori anak.
* Mengasah kepekaan pada lingkungan
Dengan mengasah kepekaan akan lingkungan dapat memunculkan rasa memiliki dan melindungi. Contoh, tumbuhkan kepekaan pada lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Caranya, minta anak membuat tempat sampah mini dari karton, biarkan dia bebas menghias dan mewarnainya dengan berbagai gambar dan warna. Selanjutnya, minta anak membuang bungkus makanan ringan, permen, mainan, dan lain-lain di tempat itu. Bila sudah penuh, minta ia membuangnya di keranjang sampah. Jika ini dilakukan, kepekaan anak akan tumbuh, dia pun akan mencintai dan menjaga lingkungannya dengan baik. Contoh lain, anak diajak mengamati pohon. Ternyata, ada berbagai macam bentuk daunnya: ada yang seperi jari tangan, hati, panjang seperti pedang, dan lain-lain. Nah, ketika tumbuh perasaan cinta ini, maka akan menggugah perasaannya untuk menghargai dan menjaga sebaik mungkin keindahan yang telah diciptakan Sang Pencipta, sehingga si anak pun kelak tidak akan menebang pohon sembarangan.
* Menjalin kerja sama antara anak dan orangtua
Ketika mengerjakan PR, orangtua hendaknya membantu/mendampingi sehingga bisa menambah kedekatan anak dengan orangtua. Sekaligus mampu mengasah kemampuan anak dalam bekerja sama. Misal, membuat anyaman dari kertas. Anak diminta memotong kertas, sedangkan orangtua membantunya menyusun anyaman. Kegiatan ini dapat menciptakan kerja sama antara orangtua dan anak. Jika PR diberikan dalam bentuk aktivitas yang menyenangkan, maka anak tidak lagi memandang PR layaknya “hantu “ yang harus dijauhi, melainkan permen yang rasanya manis dan menggoda. Saat “permen” disodorkan, anak berusaha mendapatkannya. Yummi! Ya, seandainya PR itu sebuah “permen”.