3 Langkah Membangun Basic Trust

By Ipoel , Jumat, 2 Agustus 2013 | 01:00 WIB
3 Langkah Membangun Basic Trust (Ipoel )

Usia bayi merupakan masa perkembangan pesat kemampuan motorik. Upaya mengasah ketangguhan dilakukan ketika ia mulai belajar/berlatih kemampuan mengangkat leher, menggunakan tangan, berguling, tengkurap, duduk, merangkak, berdiri, merambat, hingga berjalan. Proses dalam setiap tahapan atau fase perkembangan tersebut tentunya dilalui dengan jatuh-bangun. Karena itulah, bentuk perhatian yang perlu diberikan adalah berupa dukungan terhadap apa yang dilakukan.

Berdasarkan teori psikolog perkembangan, Erik Erikson, di usia 0-2 tahun anak berada pada tahap membangun kepercayaan dasar (basic trust) terhadap orang-orang terdekatnya dan lingkungan. Nah, rasa percaya ini harus dibangun oleh lingkungan dengan memberikan perhatian dan dukungan. Tanpa basic trust, yang ada adalah ketidakpercayaan (mistrust). Tanpa dukungan dan perhatian, si kecil sulit membangun rasa percaya pada orang lain dan juga tak percaya pada kemampuan dirinya. Itulah awal terjadinya kelemahan mental atau tidak tangguh di kemudian hari. Ketika anak jatuh-bangun saat mencoba berjalan meski dengan susah payah, berikan dukungan atas pencapaian usahanya, “Oh anak pintar ingin berjalan sendiri.” 3 Langkah berikut dapat dilakukan untuk membentuk basic trust pada bayi:

1. Pahami tangisannya

Salah satu bentuk kelekatan adalah senantiasa hadir ketika si bayi membutuhkan ayah-ibunya. Cara mengetahui kebutuhannya adalah lewat pemahaman pada bentuk tangisannya karena di usia ini, bentuk komunikasi bayi masih berupa tangisan. Sebenarnya secara alamiah, bayi menangis atau rewel pada saat-saat tertentu. Misalnya, saat haus atau ingin menyusu, mengantuk, dan lainnya. Nah, dalam hal ini, kebiasaan yang perlu dibangun di usia satu tahun pertama adalah memberikan respons terhadap kebutuhannya. Asal tahu saja, pembiaran terhadap tangisnya dapat membuat bayi kelak menjadi anak yang tak tangguh karena dibiarkan menunjukkan emosi/kebutuhannya tanpa ada solusi. Berbeda halnya jika si bayi diajarkan kesabaran melalui kata-kata yang menyertai aktivitas orang terdekat sebelum akhirnya kebutuhannya terpenuhi. Misal, “Tunggu sebentar ya, Sayang, Ibu/Ayah ambil popokmu dulu.” Di sini ada proses penundaan agar bayi terbiasa menunggu beberapa saat dan berhenti menangis karena percaya sebentar lagi solusi akan datang. Karena itulah, orangtua perlu menandai waktu menyusu, tidur, dan buang air bayi sehingga bisa mengantisipasi kebutuhan bayinya secara bijak.

2. Stop overstimulasi

Pola asuh yang menumbuhkan ketangguhan dapat dilakukan lewat stimulasi. Namun, porsinya tak perlu berlebihan dan waktunya tak perlu diburu-buru. Kalau bayi belum menunjukkan keinginan berjalan, tak perlu menatihnya jauh-jauh hari. Sesering mungkin, biarkan bayi mengeksplorasi sendiri segala hal dengan indranya. Hentikan stimulasi ketika bayi terlihat tak acuh, bosan, atau tidak nyaman. Jika bayi tampak tak berminat, jangan dipaksa. Biarkan ia beristirahat lebih dulu atau ganti dengan aktivitas lain yang disukai. Intinya, stimulasi harus disesuaikan dengan karakter serta kemampuannya, baik secara fisik, sosial, maupun nalarnya.

3. Ajak bicara

Kemampuan berkomunikasi yang baik akan membuat anak terampil memecahkan masalah. Oleh sebab itu, biasakan berkomunikasi dengan anak sejak usia bayi. Dengan cara itu, bayi akan menangkap banyak kata dan selanjutnya mencoba meniru mengucapkannya. Lafalkan pengucapan yang benar, jangan dicadel-cadelkan. Ini untuk menghindari kesalahan penggunaan dan konsep berbahasa yang salah. Jika bayi memberikan respons terhadap apa yang kita bicarakan, tanggapi dengan penuh perhatian. Berikan reward berupa apa saja, terutama yang menunjukkan kasih sayang kita. Tatap matanya dan sebut namanya sesering mungkin.