Para pelaku pemaksaan pernikahan anak balita ini mengabaikan dampak fisik dan psikologis yang akan dialami oleh anak-anak. Seorang dokter di ibukota Yaman, Sanaa, membeberkan sejumlah konsekuensi medis yang akan terjadi jika memaksa anak-anak perempuan melakukan hubungan seks dan persalinan (jika terjadi kehamilan ketika anak-anak sudah lebih besar) sebelum fisiknya belum matang. Di antaranya, perobekan dinding vagina dan fistula ani (luka robek di anus), menyebabkan inkontinensia permanen (ketidakmampuan menahan keinginan buang air).
Dampak psikologisnya, anak-anak perempuan mengalami tekanan karena harus menjalani peran ibu dan istri sebelum waktunya. Mereka juga masih terlalu kecil untuk memahami konsep reproduksi. "Biasanya perawat harus bertanya, 'Kamu tahu apa yang terjadi? Apa kamu mengerti bahwa ada bayi yang sedang tumbuh di dalam tubuhmu?" kata sang dokter. Hanya sedikit pengantin balita ini yang dibekali pengetahuan bagaimana harus merawat diri dan bayi yang mereka lahirkan. Tak heran, angka kematian bayi sangat tinggi.
Oleh karena itu, para pegiat hak anak gencar menuntut pemerintah bertindak tegas terhadap warga masyarakat yang melakukan pemaksaan pernikahan anak di bawah umur. Alasan kesehatan menjadi faktor utama pernikahan di bawah umur harus dihentikan. Para pengantin balita tersebut belum siap secara fisik lebih-lebih mental dan jiwanya.
Negara dengan kasus pemaksaan pernikahan anak
(Sumber: UNICEF)
1. Nigeria
2. Chad
3. Republik Afrika Tengah
4. Bangladesh
5. Guinea
6. Mozambique
7. Mali
8. Burkina Faso
9. Sudan Selatan
10. Malawi
11. Madagascar
12. Eritrea
13. India
14. Somalia
15. Sierra Leone
16. Zambia
17. Republik Dominica
18. Ethiopia
19. Nepal
20. Nicaragua
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Maharani Wibowo |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR