"Kalau berpikir soal upah, yah pasti sudah mundur dari guru. Kami mau makan apa dari upah Rp 85.000 per bulan. Tapi kami mencintai pendidikan. Kami mencintai profesi guru. Kami sayang anak-anak," tutur Frans.
Frans mengaku, guru adalah profesi yang mulia.
Kemuliaan itulah yang membuatnya jatuh cinta dan tetap bertahan menjalankan tugas sebagai guru.
Meskipun, nasib masih jauh dari untung.
"Upah petani dan buruh bangunan masih jauh lebih besar dari kami para guru. Yah, inilah pendidikan kita. Menyedihkan tetapi harus terus dijalani. Mungkin ada waktunya kamk mendapat upah yang lebih layak nanti," kata Frans dengan penuh harap.
Jangan Menyerah, Semuanya Belum Usai, Kepala SMPN 3 Waigete, Hendrikus Seda selalu berpesan kepada guru dan para siswanya agar tidak putus asa dalam kondisi serba sulit itu.
Ia melanjutkan, selain upah yang kecil, minimnya fasilitas sekolah jadi tantangan bagi para guru dan siswa SMPN 3 Waigete.
Baca Juga : Pengusaha Tambang Sukses, Suami Sandra Dewi Manjakan Istri dan Anaknya dengan Deretan Fasilitas Mewah Ini
"Kalau dilihat dari segi upah, memang guru-guru di sini sangat tidak layak. Tetapi, mereka semua luar biasa. Bagi mereka upah bukan sebuah perkara. Masa depan anak bangsa yang mereka utamakan," kata Hendrikus.
"Begitu pula dengan siswa. Mereka tetap rajin datang di sekolah meski harus belajar di gedung yang sempit dan nyaris ambruk," tambahnya.
Kepada para guru dan siswa-siswi, ia selalu meminta agar tidak putus asa.
"Jangan menyerah. Semuanya belum usai. Kondisi kita begini, jangan buat putus asa. Belajar dan terus belajar. Kita semua berharap, ke depan pemerintah bisa memerhatikan nasib guru honor di sekolah ini. Begitu juga dengan kondisi sekolah yang masih bangunan darurat," ungkap Hendrikus dengan penuh harap.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Guru Honorer Bergaji Rp 85.000 Sebulan di Pedalaman Flores NTT"
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Kirana Riyantika |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR