Perubahan iklim juga dianggap sebagai faktor pemicu, dimana kita menyaksikan hewan-hewan telah mengubah perilaku mereka.
Misalnya di perkotaan semakin sering terlihat kelelawar terbang padahal 50 tahun lalu hal ini tidak dijumpai.
"Ketika kita mendapatkan perubahan ini, risiko penyakit dari hewan ke manusia semakin meningkat," ujar dia.
Masih menurut Barro, risiko penyebaran penyakit dari hewan ke manusia juga bisa dialami mereka yang tinggal di perkotaan.
Misalnya di Australia ketika ada wabah flu burung, pihak berwenang sulit mendeteksi dari mana asalnya.
Sebab tidak ada pendataan kepemilikan hewan di negara itu.
Hal semacam inilah yang menurut Barro membuat wabah penyakit sulit dibendung.
"Yang tidak kita ketahui adalah kapan (wabah penyakit) muncul, kita tidak tahu frekuensinya, dan kita bahkan tidak tahu skala atau konsekuensinya," katanya.
"Bisa jadi ada beberapa orang yang jadi korban atau mungkin ratusan orang meninggal."
Baca Juga: Saingi Raffi Ahmad, Vlogger ini Bangun Rumah dengan Basement yang Bisa Tampung 26 Mobil
Barro menambahkan, para ahli masih belum bisa memahami bagaimana sebuah penyakit bisa berpindah dari hewan liar ke hewan peliharaan kemudian berakhir di manusia.
Menurut Barro, di Australia memang jarang terjadi wabah, namun di Asia Tenggara hal ini kerap terjadi lantaran banyaknya warga yang memelihara hewan ternak di sekitar rumah.
"Di sebelah utara kita adalah 'wilayah panas' Asia, yaitu Asia Tenggara di mana sering terjadi penyebaran wabah penyakit karena ada warga hidup berdampingan dengan babi dan unggas dan hewan liar lainnya," katanya.
Source | : | Instagram,kompas,GridPop |
Penulis | : | Kunthi Kristyani |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR