Nakita.id - Apa Moms pernah mengomentari bagian tubuh anak?
Misalnya, mengatakan anak memiliki badan yang gemuk atau kurus, warna kulit yang terlalu gelap, rambut yang tidak lurus, dan lain-lain.
Jarang disadari oleh kebanyakan orang, komentar-komentar pada anak seperti ini bisa saja membuat anak menjadi tidak percaya diri.
Jika sudah memengaruhi kepercayaan diri pada anak, hati-hati, bisa jadi ini termasuk body shaming.
Menurut Association of Anorexia Nervosa and Associated Disorders (ANAD), body shaming adalah perilaku yang mempermalukan seseorang karena bentuk dan ukuran badan orang lain.
Tak hanya pada orang dewasa, kasus body shaming juga bisa saja terjadi pada anak-anak.
Bahkan, terjadi di dalam lingkungan keluarga oleh anggota keluarga yang lain.
Yang tidak banyak orang ketahui, body shaming adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak.
Baca Juga: Penting untuk Diterapkan dalam Keluarga, Bagaimana Caranya Bangun Komunikasi yang Baik dengan Anak?
Kok bisa, ya?
Dilansir dari Medical News Today, ada empat bentuk kekerasan terhadap anak.
Diantaranya ada kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan penelantaran.
Perilaku body shaming adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak secara emosional.
Body shaming hanya akan membuat anak merasa malu dan rendah diri.
Maka dari itu, diperlukan pengenalan mengenai body shaming oleh orangtua.
Menjelang Hari Anti Kekerasan Internasional, perlu bagi Moms untuk mengenali lebih mendalam lagi mengenai tanda-tanda body shaming terhadap anak.
Ada alasan mengapa body shaming di masa kanak-kanak sama bahayanya dengan yang dialami orang dewasa.
Dilansir dari Moms.com, perilaku membuat anak malu dan akhirnya tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri ini memengaruhi pertumbuhannya.
Bahkan, sampai ia dewasa, anak akan cenderung merasa kurang puas dengan bentuk, ukuran, atau tanda yang ada pada tubuhnya.
Jangka panjangnya, anak akan melakukan hal yang sama pada orang lain, teman sebayanya, misalnya.
Sebab, anak akan cenderung meniru orangtuanya dalam melakukan suatu hal.
Maka dari itu, perilaku orangtua sangat berperngaruh bagaimana anak berpikir tentang tubuhnya sendiri dan bagaimana ia memperlakukan orang lain.
Hal ini selaras dengan pernyataan Mental Health Foundation, bahwa sebenarnya body shaming berdampak buruk bagi perilaku anak.
Anak akan menjadi kesulitan untuk membentuk perilaku yang baik dan sehat.
Korban body shaming cenderung lebih tidak mau untuk melakukan aktivitas fisik seperti olahraga.
Dilansir dari Mental Health Foundation setidaknya ditemukan 36 persen anak perempuan dan 24 persen anak laki-laki enggan mengikuti olahraga karena tidak nyaman dengan penampilannya.
Berikut gejala lain dari kekerasan terhadap anak secara emosional menurut Medical News Today:
1. Mendadak menjadi pendiam
2. Sering merasa cemas dan ketakutan
3. Perubahan perilaku yang ekstrem seperti terlalu agresif atau terlalu pasif
4. Kurang menunjukkan perhatian dan rasa hormat pada orangtua
5. Menunjukkan perilaku yang tidak pantas untuk seumurannya
Maka dari itu, diperlukan berbagai macam cara untuk mengatasi body shaming pada anak di dalam keluarga.
Pertama, orangtua sebaiknya menjadi seorang role model yang baik untuk anak.
Sebab, anak akan menyontoh apa yang dilakukan oleh orangtuanya.
Membiasakan berkomentar hal-hal yang kurang baik bisa jadi akan dicontoh oleh anak.
Tak hanya tentang berkomentar, namun juga dengan gaya hidup yang sehat.
Hal ini bisa dilakukan Moms apabila prihatin dengan kondisi kesehatan anak.
Ada baiknya jika Moms memberitahu bahwa yang terpenting adalah makan makanan yang bergizi, bukan berkomentar tentang bagaimana bentuk atau ukuran tubuh.
Perlihatkan juga bahwa Moms dan Dads memiliki gaya hidup yang sehat sehingga anak bisa menirunya.
Baca Juga: Sosok Selebritis Lagi-lagi Alami Body Shaming, Kenapa sih Orang Melakukannya?
Ajari anak bagaimana menjalani gaya hidup yang sehat, bukan persoalan diet.
Misalnya, ajari anak untuk makan dengan gizi seimbang atau mencuci buah sebelum dimakan.
Maka, dibandingkan dengan mengomentari ukuran dan bentuk tubuh anak, lebih baiknya langsung menunjukkan aksi dan menjadi contoh yang baik pada anak.
Membangun kesadaran akan bentuk tubuh juga baik dilakukan oleh Moms dan Dads, lo.
Jangan sampai Moms juga malah body shaming pada diri sendiri.
Hindari mengatakan, 'Duh, makin gemuk ya, aku' atau 'Kantung mataku besar sekali, bikin mata jadi sayu aja' di depan anak.
Anak juga akan mudah meniru kebiasaan untuk mengomentari dirinya sendiri secara negatif.
Kedua, ajarkan menerima diri sendiri apa adanya, bukan selalu mencari kekurangan pada bagian tubuh.
Dilansir dari Slate, lebih baik mencari kelebihan yang dimiliki oleh anak.
Ajarkan pada anak untuk memahami apa yang terjadi pada tubuhnya.
Misalnya, mengatakan, 'Wah, hebat sudah bisa main piano' atau 'Larinya kencang, pasti karena sering berlatih'.
Setiap anak pasti ingin terlihat hebat dan memiliki kelebihan.
Gunakan cara-cara yang akan membuatnya lebih percaya diri.
Terakhir, bangun komunikasi yang baik dengan anak.
Sebab, bisa saja anak mengalami body shaming dari luar, baik itu dari teman, guru, atau orang di sekitarnya.
Dengan komunikasi yang baik, anak akan lebih mudah untuk menceritakan apa saja yang dirasakannya.
Apabila ia kecewa dan sedih setelah dipermalukan oleh orang lain karena bentuk tubuhnya, Moms dan Dads bisa membantunya.
Komunikasi yang baik di tengah keluarga setidaknya membuat anak memiliki seseorang yang ia percayai.
Membangun kepercayaan dengan anak berdampak baik bagi kesehatan mental anak.
Sampai saat ini, body shaming bisa saja termasuk dalam kekerasan terhadap anak secara emosional.
Sebab, anak akan merasa dipermalukan karena komentar tentang tubuhnya dan merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri.
Menjelang Hari Anti Kekerasan Internasional, ini menyampaikan kesadaran tentang kekerasan terhadap anak secara verbal sangat penting.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Source | : | slate.com,Global News,Medical News Today,mentalhealth.org.uk,Moms.com |
Penulis | : | Amallia Putri |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR