Nakita.id - Mengerikan, baru saja ditemukan kematian misterius di Sudan.
Diketahui sudah ada puluhan orang yang meninggal dunia, tepatnya di Fangak dan Negara Bagian Jonglei di Sudan Selatan.
Hipotesa awal kematian puluhan orang di Sudan ini disebabkan karena munculnya penyakit misterius.
Bahkan karena temuan ini WHO sampai turun tangan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
WHO bahkan sampai benar-benar heran.
Bahkan kematian puluhan orang di Sudan ini bukan disebabkan karena virus corona yang sedang menyerang dunia sekarang.
Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, selain negatif virus corona, sampel awal yang dikumpulkan di daerah tersebut menunjukkan hasil negatif kolera.
Bukan karena virus corona atau kolera, lalu sebenarnya apa penyebab orang di Sudan meninggal dunia secara misterius?
Mengutip dari Tribunnews, sampai saat ini WHO masih belum bisa menyimpulkan jenis penyakit yang membuat puluhan orang di Sudan meninggal dunia secara mendadak.
Tapi WHO memberikan laporan kalau ada 89 orang Sudan yang meninggal dunia secara misterius.
"Kami memutuskan untuk mengirim tim respon cepat untuk pergi dan melakukan penilaian risiko dan penyelidikan," kata salah satu perwakilan WHO.
"Saat itulah mereka akan dapat mengumpulkan sampel dari orang yang sakit, tetapi untuk sementara angka yang kami dapatkan adalah 89 kematian," lanjutnya.
Baca Juga: Baru Pindah Rumah, Keluarga Ini Justru Terkena Penyakit Misterius!
Selain temuan korban meninggal dunia secara misterius karena sebuah penyakit yang belum diketahui jenisnya, ternyata daerah Fangak sedang terjadi banjir bandang.
Jadi semakin menghambat penelitian lanjutan lewat jalur darat.
Sementara itu, agar WHO cepat mengetahui jenis penyakit yang menyebabkan puluhan orang di Sudan meninggal dunia, mereka sampai menggunakan helikopter untuk melakukan penelitian lanjutan.
County Director dari Concern di Sudan Selatan, Shumon Sengupta, menjelaskan situasi yang mengerikan akibat banjir bandang ini.
"Besarnya banjir tahun ini sangat besar. Lebih dari 200.000 orang, lebih dari seperempat penduduk lokal di Unity State terpaksa meninggalkan rumah mereka sebagai akibat dari meningkatnya air banjir," kata Shumon Sengupta pada Kamis (16/12/2021).
Menurutnya, mengacu pada catatan lokal, tidak pernah ada banjir dalam skala ini di wilayah itu sejak 1962.
Lembaga seperti Concern Worldwide bekerja tanpa lelah untuk menanggapi meningkatnya krisis kemanusiaan, (dengan bantuan keuangan dari donor seperti BHA/USAID, ECHO, GAC, EFP dan UNICEF).
Namun, menurut Sengupta, kebutuhannya jauh melebihi skala respons kemanusiaan saat ini, baik di dalam maupun di luar kamp untuk pengungsi internal.
"Keluarga telah mengungsi dan berlindung di tempat yang lebih tinggi, di gedung-gedung publik atau dengan tetangga atau keluarga. Akses ke layanan dasar termasuk dukungan kesehatan dan nutrisi telah terganggu karena klinik rusak, terendam banjir, atau tidak dapat diakses," kata Shumon.
Badan amal internasional Medecins Sans Frontieres juga sebelumnya berkomentar tentang bagaimana banjir telah menekan fasilitas kesehatan.
Mereka berkata, "Kami sangat prihatin soal malnutrisi, dengan tingkat malnutrisi akut yang parah dua kali lipat dari ambang batas WHO, dan jumlah anak yang dirawat di rumah sakit kami dengan malnutrisi parah berlipat ganda sejak awal banjir," pungkasnya.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR