Nakita.id - Salah satu indikator dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) adalah semua orang, apa pun gendernya, mendapatkan manfaat dari pembangunan.
Namun budaya patriarki yang mengakar menumbuhkan cara pandang, norma, bahkan kebijakan yang bias gender, sehingga terus menjadi hambatan untuk mencapai tujuan ini.
Di Indonesia, meskipun secara khusus tidak lagi ada halangan bagi perempuan untuk bekerja, dalam membangun karier, pekerja perempuan masih banyak mengalami hambatan.
Mulai dari budaya dan konstruksi sosial yang melanggengkan berbagai bentuk diskriminasi berbasis gender serta membebankan kerja perawatan kepada perempuan, hingga pelecehan seksual.
Dari sisi kepemimpinan, ketimpangan berbasis gender juga masih terlihat jelas.
Menurut laporan Grant Thornton International pada 2019, secara keseluruhan perempuan memegang 29 persen kepemimpinan senior secara global, angka yang hanya naik 10 persen dalam 15 tahun terakhir.
Selain itu, hanya 15 persen bisnis di dunia yang memiliki perempuan CEO.
Posisi senior yang paling banyak dijabat perempuan adalah direktur sumber daya manusia, yaitu 43 persen.
Mengisi gap kepemimpinan perempuan menjadi penting untuk memastikan adanya kebijakan yang inklusif.
“Pekerjaan perawatan tak berbayar, yang menjadi tantangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam ekonomi, sering kali luput dari perhatian.
Padahal, mengurangi pekerjaan perawatan tak berbayar berpotensi menciptakan hampir 300 juta lapangan kerja pada tahun 2035,” kata Dwi Faiz, Head of Programmes, UN Women Indonesia dalam acara Invest in Women, Invest in All: How Gender Equality Benefits Everyone, Selasa (5/3/2024).
Baca Juga: Pompa ASI yang Tepat untuk Ibu Bekerja, Ini Jenis dan Pertimbangan Saat Memilih
“Perspektif perempuan di posisi pengambilan keputusan sangat penting untuk memastikan isu yang berdampak bagi perempuan, seperti pekerjaan perawatan tak berbayar, masuk dalam kebijakan di dunia kerja.
Meningkatkan kepemimpinan perempuan tidak hanya menjadikan dunia bisnis lebih inklusif, tetapi juga menguntungkan bagi semua.”
Mencapai kesetaraan gender di tempat kerja tidak hanya memberdayakan karyawan perempuan, serta menjamin hak, akses dan kesempatan yang sama bagi semua karyawan, apa pun gendernya.
Kebijakan yang sensitif gender juga mendorong produktivitas dan inovasi, mempertahankan karyawan berprestasi serta menjadi daya tarik untuk merekrut talenta baru.
Namun masih banyak perusahaan yang belum menganggap tercapainya kesetaraan gender sebagai sebuah prioritas.
Pada saat yang sama, banyak juga perusahaan yang mulai memahami, namun tidak memiliki kapasitas untuk mulai menciptakan lingkungan kerja yang ramah gender serta menjamin dan menawarkan hak dan kesempatan yang sama secara gender.
Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), sebuah organisasi yang mempromosikan pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender, mengatakan komitmen kepemimpinan perusahaan sangat penting dalam perjalanan mencapai kesetaraan gender di tempat kerja.
Zelda Lupsita, Program Manager IBCWE, mengatakan,"Perusahaan harus memulai dengan komitmen yang berasal dari top leadership.
Setelah itu, perusahaan melakukan peninjauan kebijakan yang ada, apakah sudah inklusif atau masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki. Lebih lanjut, melakukan edukasi kepada seluruh karyawan agar memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya kesetaraan gender di tempat kerja,"
Unilever Indonesia adalah salah satu perusahaan yang sudah memiliki blueprint untuk mencapai keadilan gender di tempat kerja lewat berbagai kebijakan perusahaan dan inisiatif korporat maupun brand-brand mereka.
Willy Saelan, Human Resources Director Unilever Indonesia menyampaikan “Bagi kami, keadilan gender adalah pilar penting dari sebuah perusahaan.
Mengimplementasikan equity atau keadilan di lingkungan kerja artinya membangun lingkungan dan budaya yang sehat, yang dapat membantu talenta-talenta dari berbagai latar belakang, kemampuan, keunikan dan kebutuhan punya kesempatan yang sama untuk berkembang”.
Unilever Indonesia memiliki Equity, Diversity& Inclusion Board yang secara khusus dibentuk untuk mendorong dan mengimplementasikan berbagai program yang berfokus pada tiga pilar ED&I Perusahaan yaitu, keadilan gender, keadilan bagi penyandang disabilitas dan penghapusan diskriminasi dan stigma baik di lingkungan organisasi maupun masyarakat.
Terkait dukungan kebijakan keadilan gender di dalam perusahaan, Unilever memiliki beberapa upaya misalnya, waktu kerja yang fleksibel, fasilitas daycare, ruang laktasi, hak cuti melahirkan selama empat bulan bagi ibu, dan cuti untuk para ayah (paternity leave) selama tiga minggu.
“Kami percaya kebijakan ramah gender bisa memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi karyawan dan perusahaan tetapi untuk lingkungan yang lebih luas lagi,” Willy menambahkan.
Tentunya mendorong kesetaraan gender adalah pekerjaan bersama yang tidak hanya dibebankan kepada perempuan.
Keterlibatan laki-laki dalam mengubah nilai-nilai patriarkal yang sudah mengakar dan menggeser cara pandang sangat menentukan keberhasilan dari upaya mencapai kesetaraan gender.
Salah satu cara yang efektif untuk mengubah norma dan cara pandang adalah melalui pendidikan dan budaya.
Hal ini yang diperjuangkan oleh Aliansi Laki-Laki Baru (ALB), sebuah gerakan yang bertujuan untuk mempromosikan dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan gender dan membangun paradigma baru tentang menjadi laki-laki.
Lewat berbagai berbagai kegiatan seperti advokasi, kampanye, produksi pengetahuan, serta pelatihan, ALB mendorong keterlibatan laki-laki dalam upaya penting ini.
Menurut Wawan Suwandi, Koordinator Nasional ALB, membangun cara pandang dan sikap yang tidak diskriminatif gender dapat dimulai dari pola asuh dalam keluarga yang memperkenalkan nilai-nilai kesetaraan, penghargaan, dan keadilan.
Misalnya, ayah bisa menjadi role model bagi anak-anaknya dengan mempraktikkan berbagi beban domestik, terlibat dalam pengasuhan, tidak memprioritaskan anak laki-laki dan mengenyampingkan anak perempuan, dan membangun relasi sehat dalam keluarga.
Upaya memutus rantai diskriminasi berbasis gender di dunia kerja juga dapat dimulai dari dunia pendidikan yang memberikan insight bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama dapat meraih apa yang mereka mimpikan.
Pada bidang science, technology, engineering, dan mathematics (STEM), yang umumnya diminati laki-laki, oleh dunia pendidikan mulai didorong agar lebih banyak perempuan yang mengaksesnya.
”Dalam dunia kerja laki-laki tidak perlu merasa malu memiliki posisi setara dengan perempuan.
Selain perempuan bukan ancaman, mereka merupakan mitra kerja yang dapat diandalkan.
Menganggap perempuan tidak pantas bekerja di ranah publik, justru seperti menunjukan sikap inferior dan meragukan kualitas diri,” tambah Wawan.
Mendorong kesetaraan gender di tempat kerja membutuhkan komitmen dan investasi yang serius dan berkelanjutan, yang hasilnya menguntungkan semua, baik karyawan maupun perusahaan.
Penulis | : | Nita Febriani |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR