Nakita.id - Penyakit infeksi bakteri pemakan daging atau Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) kini sedang mengalami peningkatan kasus di Jepang.
Hal ini menjadi perhatian global, termasuk bagi Indonesia.
Prof. Tjandra Yoga Aditama, pakar ilmu kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), memberikan penjelasan mengenai fenomena ini dan bagaimana berbagai negara, termasuk Indonesia, dapat melakukan antisipasi.
Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) adalah kondisi yang disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus grup A yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas, termasuk nekrosis atau kematian jaringan.
Bakteri ini dikenal sebagai "bakteri pemakan daging" karena kemampuannya untuk menghancurkan jaringan dengan cepat.
Gejala STSS biasanya bermula dari demam tinggi, nyeri otot, dan muntah.
Gejala ini dapat berkembang dengan cepat menjadi syok, gagal organ, dan kematian dalam waktu 48 jam jika tidak ditangani segera.
Prof. Tjandra Yoga Aditama menyatakan bahwa tingkat kematian akibat STSS dapat mencapai 30 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kematian akibat COVID-19 yang berada di bawah 5 persen.
Selama pandemi COVID-19, banyak masyarakat yang membatasi interaksi sosial dan menjaga jarak, yang mungkin telah mengurangi kontak dengan berbagai bakteri, termasuk Streptococcus grup A.
Hal ini dapat menyebabkan penurunan kekebalan alami terhadap bakteri tersebut.
Selain itu, ada dugaan bahwa sistem imun yang melemah pasca-COVID-19 (weakened immune systems post-COVID-19) dapat menjadi faktor yang menyebabkan peningkatan kasus STSS.
Baca Juga: Bayi 2 Tahun Terancam Diamputasi Kakinya Usai Terinfeksi Bakteri Pemakan Daging, Penyebabnya Sepele!
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Aullia Rachma Puteri |
KOMENTAR