Nakita.id - Pisang memiliki tingkat kematangan yang berbeda-beda.
Ada beberapa orang yang gemar memakan pisang yang masih berwarna kuning kehijauan, beberapa orang lain suka memakan pisang kuning dan sangat matang.
Tahukah Moms, bahwa warna tingkat kematangan pisang yang berbeda punya manfaat berbeda pula?
Moms harus memilih kematangan pisang yang dimakan tergantung pada kesehatan.
Akun Instagram @fitness_meals membagikan foto yang menunjukkan ragam warna dan tingkat kematangan pisang.
BACA JUGA: Ratu Elizabeth II Lebih Dekat Bersama Meghan, Hubungannya dengan Kate Tak Seakrab yang Dilihat!
Setiap pisang diberi label angka dari 1 sampai 15, dengan satu yang paling tidak matang dan 15 yang paling matang.
Pengguna Instagram yang melihat pun langsung mulai berdebat di komentar, sebagian besar warganet memilih angka 8 hingga 10, tetapi beberapa mengatakan angka 4 hingga 7.
The Daily Mail berbicara kepada Rhiannon Lambert, ahli gizi yang berbasis di Inggris dan penulis "Rhitrition: A Simple Way to Eat Well," untuk melihat apakah satu jenis pisang lebih baik daripada yang lain.
Lambert mengatakan bahwa ada manfaat yang beda untuk memakan pada kematangan yang berbeda, tergantung pada kesehatan.
Jika Moms menderita diabetes, lebih baik makan pisang yang tak terlalu matang daripada yang terlalu matang.
BACA JUGA: Potret Menggelitik Syahril Ramadan dengan Pemain Sepak Bola Dunia, Wow Editannya Jago Banget!
Ini karena ketika pisang matang, zat pati pada pisang mulai berubah menjadi gula.
Lambert menjelaskan, "Penelitian menunjukkan bahwa pisang yang tak terlalu matang, zat pati tersebut mengandung karbohidrat sebesar 80-90 persen. Jika pisang sudah masak, berubah menjadi gula bebas."
Oleh karena itu, orang yang menderita diabetes disarankan untuk makan pisang yang tidak terlalu matang, sehingga tak terlalu cepat meningkatkan kadar gula dalam darah.
Pisang yang terlalu matang, di sisi lain, mungkin merupakan pilihan yang lebih baik bagi siapa saja yang kesulitan mencerna makanan.
David Levitsky, profesor nutrisi dan psikologi di Cornell University, mengatakan bahwa makan pisang yang lebih hijau mengandung lebih banyak pati yang disebut "pati resisten", yang tak bisa dicerna manusia.
BACA JUGA: Ririn Ekawati Unggah Foto Sedang Sendiri, Warganet Puji Hal Ini!
Namun, pati itu juga bisa baik untuk tubuh, karena bakteri usus baik menyukainya.
Nicholas Gillitt, wakil presiden penelitian nutrisi dan direktur Dole Nutrition Institute, juga mengatakan, "Ini adalah jenis bahan tepung yang bakteri cari untuk dimakan."
Lambert juga ikut menjelaskan, "Ketika pati resisten berubah menjadi gula sederhana, pisang berubah jadi lebih matang, dan penelitian menyarankan bahwa pisang matang lebih mudah dicerna bagi rata-rata orang."
Sementara, pisang yang terlalu matang hingga kecokelatan penuh dengan antioksidan.
Menurut Spoon University, ketika pisang hampir seluruhnya berwarna coklat, pada dasarnya semua tepung telah dipecah menjadi gula, dan klorofil dalam pisang telah menjadi bentuk baru.
BACA JUGA: Bikin Gemas! Putri Charlotte Lambaikan Tangan ke Camilla dan Pangeran Charles
Inilah mengapa orang sering menggunakan pisang lembek untuk dipanggang karena rasanya yang begitu manis.
Spoon University melaporkan, "Pecahnya klorofil ini adalah alasan mengapa tingkat antioksidan meningkat seiring dengan usia pisang. Jadi pisang yang sepenuhnya berwarna coklat adalah sumber antioksidan."
Namun, pada akhirnya, para ahli gizi tampaknya setuju bahwa Moms benar-benar dapat memakan pisang sesuai selera, dan tetap mendapatkan hasil maksimal dari buah tersebut.
BACA JUGA: Ditanya Nia Ramadhani, "Kalau Ngga Ada Mama Papa Mau Sama Siapa?" Begini Ekspresi Mikhayla
Isi nutrisi tidak berubah tergantung pada seberapa matang pisang.
Satu-satunya hal yang benar-benar berubah adalah rasa, dan bagaimana tubuh memroses gula.
Jadi, kecuali Moms memiliki diabetes tipe 2, jenis pisang yang dapat dimakan cukup banyak hanya berdasarkan preferensi.
Serunya Kegiatan Peluncuran SoKlin Liquid Nature French Lilac di Rumah Atsiri Indonesia
Source | : | thisisinsider.com |
Penulis | : | Amelia Puteri |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR