Nakita.id.- Moms yang tinggal di Jakarta, sudah beberapa hari ini merasakan hawa panas, terutama di siang hari?
Ya, betul Moms, dalam beberapa hari cuaca di Jakarta dan kota-kota lain terasa lebih panas dari biasanya. Bahkan, meski matahari tak bersinar terik, tapi badan terasa lebih gerah.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Menurut Kepala Subdit Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Harry Tirto Djatmiko seperti dikutip dari kompas.com (109/10), cuaca panas yang terjadi di Jakarta dan beberapa wilayah lain seperti Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, karena sedang ada peralihan cuaca.
Baca Juga : Wajib Tahu, Cuaca Ternyata Berpengaruh Terhadap Mood dan Kesehatan Manusia
Fenomena cuaca panas dan terik merupakan fenomena cuaca alamiah yang biasa terjadi. Kejadian cuaca panas dan terik lebih sering terjadi pada bulan-bulan transisi atau pancaroba dan bulan-bulan puncak musim kemarau," ujar Harry.
Berdasarkan catatan BMKG, ada beberapa faktor yang memengaruhi kondisi tersebut. Meliputi, gerak semu matahari yang saat ini berada di sekitar khatulistiwa dan gerak menuju ke belahan bumi utara atau sebaliknya.
"Sekitar tanggal 21 Maret sampai 23 September gerak matahari tepat di atas khatulistiwa. Sehingga pancaran sinar matahari dan radiasi matahari cukup optimum.
Baca Juga : Berita Kesehatan: Lemak Trans, 'Musuh Dalam Selimut' Di Balik Kelezatan Makanan Favorit
Hal ini ditandai dengan hasil monitoring suhu udara maksimum berkisar antara 33.0 hingga 37.2 derajat celcius, masih dalam kisaran normal. Suhu maksimum yang pernah terjadi berdasarkan data klimatologis 30 tahun antara 34.0-37.5 derajat celcius," kata Harry.
Meski merupakan fenomena alam biasa, berbagai studi memperlihatkan peningkatan dramatis dalam kematian akibat cuaca panas.
Contohnya, gelombang panas di Jepang mencapai rekor pada Senin (23/7), tatkala suhu mencapai 41,1 derajat Celsius di Kumagaya, sekitar 86 kilometer dari Tokyo.
Temperatur tersebut memecahkan rekor lima tahun sebelumnya, yaitu 41,0 derajat Celsius pada Agustus 2013 di Shimanto, Prefektur Kochi.
Khusus di Tokyo, suhu 40,8 derajat Celsius juga memecahkan rekor lokal.
Baca Juga : Berita Kesehatan Terbaru: Omega-3 Tak Ampuh Atasi Mata Kering
Akibat gelombang panas ini, sebanyak 77 orang telah meninggal dunia dan 30.000 orang harus dirawat di rumah sakit, berdasarkan perhitungan Badan Penanggulangan Bencana Jepang dan kantor berita Kyodo sejak 9 Juli hingga Minggu (22/7).
Pada Senin (23/7) saja, sedikitnya sembilan orang meninggal dunia. Beberapa orang di antara mereka adalah warga lanjut usia yang berusia antara 72 hingga 95 tahun.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, mengimbau masyarakat dan pelajar untuk bersikap waspada dan menghindari kegiatan di luar ruangan.
Imbauan ini dikemukakan setelah seorang pelajar berusia enam tahun di Prefektur Aichi meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan belajar di luar kelas, pada Selasa (17/7).
Baca Juga : Deteksi Semua Penyakit Dengan Bantuan Sendok, Begini Caranya!
Kemudian, sejumlah siswa SMA di Shimonoseki, Prefektur Yamaguchi, mengalami gejala kejang akibat terpapar sengatan matahari sehingga harus dibawa ke rumah sakit.
Pada Minggu (22/7), Dinas Pemadam Kebakaran Tokyo telah mengerahkan ambulans sebanyak 3.125 kali—jumlah terbanyak dalam sehari sejak dinas tersebut memulai layanan darurat pada 1936 lampau. Sebagian besar warga yang memerlukan ambulans terdampak gelombang panas.
Gubernur Tokyo, Yuriko Koike, mengatakan gelombang panas yang melanda Jepang akhir-akhir ini menyebabkan masyarakat "persis seperti hidup di sauna".
Agar korban tidak semakin banyak berjatuhan, Badan Meteorologi Jepang mengimbau masyarakat untuk minum air lebih sering dan waspada terhadap gelombang panas.
Baca Juga : Diet Ala Constance Wu ‘Crazy Rich Asian’, Semua Dimakan Termasuk Junk Food
Khalayak di Tokyo mengguyur air ke trotoar untuk mendinginkan kawasan setempat, pada Senin (23/7).
Upaya meredam gelombang panas juga dilakukan secara swadaya oleh masyarakat Kota Yokohama.
Di kota sejauh 44 kilometer sebelah selatan Tokyo itu, khalayak berpartisipasi dalam acara yang disebut uchimizu atau 'upacara air', yaitu mengguyur atau memercik air dingin ke jalanan guna mendinginkan.
Diperkirakan pada 2080 jumlah orang yang meninggal akibat gelombang panas kemungkinan akan meningkat tajam di beberapa daerah di dunia jika pembuat kebijakan gagal mengambil langkah-langkah mitigasi dalam kebijakan iklim dan kesehatan.
Baca Juga : Ingin Cepat Hamil? Hindari Berhubungan Intim Saat Suami Demam!
Kematian yang disebabkan oleh gelombang panas dapat meningkat secara dramatis di daerah tropis dan subtropis, seperti di Asia Tenggara, diikuti oleh Australia, Eropa dan Amerika Serikat.
Diterbitkan dalam jurnal PLOS Medicine, hasil penelitian menunjukkan kebijakan mitigasi yang lebih ketat harus diterapkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, karena emisi gas rumah kaca yang lebih rendah terkait dengan lebih sedikit kematian akibat gelombang panas.
Antonio Gasparrini, seorang ahli dari London School of Hygiene & Tropical Medicine yang memimpin penelitian, mencatat bahwa beberapa negara di seluruh dunia saat ini sedang dilanda gelombang panas yang mematikan.
Baca Juga : Moms Penggemar Laksa Tapi Takut Kolesterol? Ini Resep Tanpa Santan
"Sangat mungkin bahwa frekuensi gelombang panas dan tingkat keparahan akan meningkat. Tetapi kabar baiknya adalah jika kita mengurangi emisi gas rumah kacamaka dampak yang diproyeksikan akan jauh berkurang."
Para peneliti mengatakan mereka berharap penelitian mereka, yang menggunakan pemodelan matematika, akan membantu pengambil keputusan dalam merencanakan strategi untuk perubahan iklim. (*)
Source | : | The Guardian,New York Times,The Daily Sabah,nippon.com |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR