Nakita.id – Banyak orang beranggapan bahwa tubuh mereka tidak bisa mentoleransi beberapa jenis makanan karena efeknya jadi gatal-gatal, sakit perut, muntah, hingga diare. Padahal, terkadang efek-efek ini belum tentu disebabkan karena asupan makanan ke dalam tubuh kita. Dr Gill Hart, ahli intoleransi makanan dan direktur ilmiah di York Test Laboratories, memberikan gambaran bagaimana cara kerja tubuh kita sehingga menyebabkan tubuh kita menolak asupan beberapa jenis makanan.
1. Ketahui Perbedaannya “Sekitar 45% tubuh orang memang memiliki kecenderungan intoleransi pada makanan tertentu dan ini berbeda dengan yang disebut alergi makanan. Alergi makanan biasanya dimiliki oleh 2% orang. Dan, orang sering bingung dirinya masuk dalam kategori yang mana. Padahal reaksi kedua hal ini bekerja dalam tubuh dengan cara yang berbeda,” terang Gill.
“Alergi pada makanan akan menyebabkan reaksi yang cepat karena tubuh berusaha untuk memerangi makanan atau minuman yang dianggap telah menginvasi. Reaksinya seperti bibir yang tiba-tiba membengkak, kesulitan bernapas atau muntah. Sedangkan kalau kita tidak memiliki toleransi pada makanan akan lebih sulit untuk diidentifikasi, dan biasanya akan berkaitan dengan reaksi biologis yang tertunda. Walau biasanya sering membuat tidak nyaman, tetapi tidak membahayakan jiwa,” tambahnya.
Jika Ibu memiliki alergi pada makanan tertentu, segeralah mencari bantuan medis. Namun, jika mengalami intoleransi pada makanan, ketidaknyaman dalam tubuh mungkin akan dirasakan dalam beberapa hari setelah mengonsumsi makanan tersebut.
2. Kenali Gejalanya Gejala tipikal dari intoleransi makanan termasuk IBS (sindrom iritasi usus besar), bengkak, sakit kepala, migren, kelelahan, uring-uringan, berat badan bertambah, rasa cemas, dan iritasi kulit. Repotnya, gejala-gejala ini juga sering menjadi indikasi penyakit lainnya. Jadi, secara otomatis, kita tidak bisa berasumsi jika kita salah memberi asupan makanan dalam tubuh kita sendiri.
“Jika mengalami gejala seperti IBS, bengkak, uring-uringan, masalah alat pencernaan yang terkait, ada baiknya kita segera ke dokter untuk mengecek tanpa menunda,” saran Gill. Saat ke dokter, sebut kemungkinan intoleransi makanan ini sebagai penyebabnya, dan makanan apa saja yang dimakan sebelumnya.
3. Atur Kembali Pola Gaya Hidup “Ada banyak hal yang berkontribusi pada intoleransi makanan. Beberapa di antaranya adalah stres, penggunaan antibiotik atau obat-obatan lainnya, konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan, atau terlalu banyak mengonsumsi makanan olahan,” terang Gill.
Hal-hal di atas juga memengaruhi kesehatan bagian tubuh lainnya. Namun, biasanya mereka yang memiliki intoleransi pada makanan akan semakin parah gejala-gejalanya. Itu sebabnya membuat perubahan positif dalam gaya hidup seperti menjalankan diet sehat, makan makanan segar, mengurangi minuman beralkohol, dan mengatur tingkat stres akan membantu mengurangi intoleransi makanan secara dramatis.
4. Mendengarkan Tubuh Kita Sendiri Yang paling penting adalah memerhatikan tubuh kita dan tidak latah mengikuti orang lain. Bukan berarti karena banyak orang intoleran akan makanan tertentu, kita juga punya masalah yang sama. Setiap tubuh manusia bereaksi pada setiap makanan secara berbeda-beda. Menurut Gill, orang dengan intoleransi makanan akan bereaksi terhadap empat hingga enam makanan. Namun, yang harus dihindari adalah menyamakan atau mengasumsi jika semua orang akan memiliki intoleransi yang sama. Dengan kata lain, penyebab umum intoleransi makanan belum tentu berlaku pada diri kita sendiri.
5. Coba Tes yang Lebih Kredibel Untuk mengecek apakah kita memiliki intoleransi makanan atau tidak, bukan berarti dengan memeriksakan ke dokter kita akan segera mengetahuinya. Melakukan tes independen justru kadang bisa lebih membantu, meskipun tidak menjamin hasil yang akurat.
Gill merekomendasikan untuk mencoba tes darah yang lebih sederhana serta mencari masukan dari ahli gizi.
“Memiliki intoleransi makanan memang akan membuat sistem percernaan kamu pulih kembali dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Tetapi, semua itu bisa di-manage. Perlu kerja keras dan bantuan untuk mencapai itu. Bahkan ketika tubuh kamu sudah bisa 'di-reset ulang', bukan tidak mungkin kamu bisa menikmati makanan yang dulunya dianggap pemicu, tanpa menimbulkan masalah.”